***
Pagi buruk datang lagi.
Impiannya yang akan pertama kali dijunjung, bukan? Di manakah hilangnya letak tanggung jawab yang rasa-rasanya yakin pernah Ichi dengar dengan telinganya tempo hari. Rupanya, belakangan ia mampu gesit tarik simpul bahwa yang terucap itu hanya jadi embel-embel semata. Oh, tidak-ralat-itu hanya jadi omong kosong demi pernikahan ini tercapai. Entah apa lagi signifikan lain yang akan terbongkar setelah ini, yang jelas Ichi berani taruhan bahwa Yoon punyai mulut terlaknat sepanjang masa. Ichi tidak akan tarik kata-katanya begitu saja. Ia harus yakin akan Yoon yang memang seburuk itu perangainya untuk menyusun setiap rencana neraka. Segenap runtutan ketidaksengajaan yang terjadi tidak akan berujung serumit ini bila Ichi (yang telah memersiapkan diri awal pukul delapan tadi pagi sembari membawa sebuah map menuruni tangga) tidak berpapasan dengan Yoon yang baru saja membuka pintu kamarnya.
Suasana yang sama sekali tidak berkongsi dengan gadis berpakaian nyaris menawan itu tidak akan terjadi dikala Yoon tak melihat punggungnya yang menuruni tangga. Sampai kini Ichi tiada henti berpikir di mana letak salah fatal yang ia lakukan, dirinya hanya bingung hendak menyalahkan punggungnya yang terlihat oleh sudut mata Yoon, atau bunyi gemeletukan sol sepatu toskanya yang menyapa seiring langkah terburu menuruni tangga. Apapun itu, tindakan paling disesalinya yakni seharusnya dirinya tidak keluar bersamaan di jam pria itu berangkat kerja. Ichi tidak percaya bahwa membatin sekalimat penuh itu saja menghabiskan napas yang membuat bahunya naik-turun dan pemenggalan kata yang terlalu banyak menyerap kesabaran. Setidaknya mengundur semenit dua menit kelihatanya cukup baik dan efisien, mengingat muaknya Ichi bertemu pria itu barang eksistensi ujung kuku kaki Yoon saja. Seharusnya, itu yang dilakukannya tadi, tidak ada gunanya menyesali itu kini.
Aih aih. Wajah Ichi sudah buruk sekali macam kertas origami gagal percobaan yang berujung teronggok mengenaskan di pojok ruangan dalam keadaan teremas-remas. Tangannya saling melipat di depan dada dengan wajah yang dipalingkannya ke arah jendela. Ia sungguh berharap menemukan imajiner wajah Yoon di aspal jalan tol atau barangkali menempeli sebagian rambu penanda. Yang jelas ia tidak ingin menganggap suaminya itu duduk di jok mobil tepat di sampingnya.
Yoon yang tengah membaca majalahnya di atas mobil menyempatkan jenak waktu pendeknya guna melirik Ichi, sesungging senyum mendadak hiasi seraut paras kakunya itu. Diliriknya jam nyaris berkilauan pada pergelangan tangan di balik lengan jasnya yang terlalu licin. Yoon tahu pasti bahwa lamanya perjalanan turut berintervensi merusak suasana hati istri kecilnya itu. Ya, meski Yoon tahu Ichi lebih banyak merasa sebal akan apapun yang ia lakukan. Namun kendati begitu, tetap saja Yoon tidak ingin mengemban seluruh kesalahan dalam genggamannya seorang diri.
Menutup majalah yang masih didedahnya lebar di atas pangkuan, Yoon letakkan asal majalah itu kembali ke tempatnya sembari kepala yang kembali ditolehkannya ke arah Ichi.
KAMU SEDANG MEMBACA
HELLUVA
Fiksi Penggemar𝑻𝒉𝒆 𝒃𝒆𝒈𝒊𝒏𝒏𝒊𝒏𝒈 𝒐𝒇 𝑩𝒍𝒂𝒄𝒌-ü𝒓𝒂 𝒔𝒆𝒓𝒊𝒆𝒔, 𝒆𝒗𝒆𝒓𝒚𝒕𝒉𝒊𝒏𝒈 𝒔𝒕𝒂𝒓𝒕𝒔 𝒉𝒆𝒓𝒆 Atas semua hal kehitampekatan yang sudah didedah habis Yoon nyaris membuatnya kembali terlahir sebagai manusia kapas halus polos yang bersih. Pr...