15. String Of Pain

202 95 84
                                    

Ini chapter panjang banget, kalau dibagi dua juga nanggung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini chapter panjang banget, kalau dibagi dua juga nanggung. Mungkin aku saranin kamu bacanya setengah-setengah aja dulu. Maaf, ngetiknya ngga kerasa. Maaf juga sering banyak chapter yang panjang. Semoga ngga bosen, ya! Sekali lagi maaf banget.

BANYAK TYPO.

***

Pukul 15:55 JST

Dingin. Itu yang ia rasakan, suhu tujuh derajat seakan mengikis kulitnya terlalu jahat. Baju hangat yang dikenakannya bahkan sama sekali tak mampu menghangatkan. Ditundukkannya kepala melihat kakinya yang sudah berjalan terseok-seok seperti gembel rumah kardus. Flat shoes yang Ichi kenakan sudah berubah lusuh hanya dalam hitungan dua jam, atau mungkin lebih. Jangan tanyakan lagi bagaimana rupa kaki gadis berdarah Jepang itu. Kakinya lecet. Perih sebenarnya saat terus dipaksa melangkah. Tahu saja kalau jalanan Jepang tidak semenyenangkan dalam Anime. Semuanya di sini sangat berkelok, naik-turun, dan rumit. Bahkan persimpangan pun semua terlihat hampir-hampir sama. Hal itu sangat menjadi malapetaka untuk Ichi yang notabene sudah menjadi manusia asing lagi di bumi Jepang. Ya Tuhan, seluruh tubuh pun sudah tak mampu lagi diajak berkompromi. Namun Ichi ingin segera pulang. Ingin berbaring, ingin mandi air hangat. Ingin minum matcha panas juga.

Letih sekali.

Berjalan kaki rupanya ide buruk.

Ichi tidak tahu apakah ini jalan yang benar untuk kembali menuju Nagi. Ia hanya ikuti rambu jalan dan intuisi.

Menyapu wajahnya yang terasa kebas lantaran terus ditabrak udara dingin. Mungkin memang wajah masai Ichi sungguh menarik perhatian banyak orang, sebab beberapa jam terakhir ini, Ichi menemukan banyak raut paras kasihan dan khawatir. Ada pula yang di antaranya menepi dan menawarkan tumpangan. Jangan bilang kalau Ichi tak ingin, ia teramat ingin. Setidaknya tumpangan akan sungguh meringankan bebannya. Namun tahu sendirilah mengingat Ichi adalah klaustrofobia akut. Ichi tidak ingin sesuatu terjadi padanya, apalagi dengan orang asing. Paranoidnya, rasa takutnya, itu mungkin akan sangat tak terkendali dan membuat orang lain tak nyaman. Bersama Yoon saja ia masih sering berdebar tak karuan.

Menarik napas dalam-dalam. Mata Ichi bahkan sudah mulai sayu. Entah mengapa langit jadi mendadak mendung. Ichi menoleh dan mendongak pada rambu jalan yang terpasang di atas sebuah tiang beton. Tulisan putih pada rambu jalan bahkan mulai terlihat buram. Ichi paksakan diri terus berjalan tanpa mengambil jeda waktu untuk berhenti. Kini kepalanya malah berputar, Ichi butuh air. Ia menahan haus daritadi sebab tak ditemuinya kran air layak konsumsi. Andai ia bukan klaustrofobia, mungkin ia akan lebih bebas memberhentikan taksi dan kembali ke Nagi sendiri tanpa harus mencemaskan apapun. Andai ia menyelipkan lima ratus yen saja di saku, mungkin ia sudah bisa membeli dua botol air mineral sekarang.

HELLUVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang