Masih menunggunya kembali

4.5K 352 2
                                    

Kevin mengusak rambutnya frustasi. Ia sudah tak tahu lagi harus bagaimana menghadapi kedua orang tuanya yang terlampau keras kepala itu.

Di rumah sakit Bintang sendiri karena ini sudah malam. Sementara Kelvin sendiri di kunci di dalam kamarnya oleh kedua orang tuanya.

Kelvin tak mungkin meminta bantuan sahabatnya maupun kedua sahabat adeknya. Karena besok mereka harus sekolah.

Brakk

Brakk

Brakk

Kelvin terus menendang dan menggebrak pintu kamarnya. Ia sudah tidak peduli lagi jika para tetangganya terganggu akan perbuatannya.

"papa bukain pintunya. Bukain pintunya adek di rumah sakit sendirian!" teriak Kelvin berharap suaranya bisa di dengar oleh orang yang ada di rumah besar itu.

Dokter Risyad is calling

Kelvin langsung menscroll gagang hijau di ponselnya lalu menempelkan benda itu di telinganya..

"hallo dok"

"hallo kelvin kamu dimana?"

"saya di rumah dok. Apa ada sesuatu dengan adek saya?"

"kondisinya sudah stabil, kamu tenang saja. Oh ya tapi adek kamu di rumah sakit sendirian"

"iya dok, sekarang saya di kunci di rumah, saya gak tahu harus bagaimana keluar dari rumah sialan ini"

Terdengar helaan nafas dari sebrang.

"baiklah biarkan saya saja yang menjaga Bintang, kamu istirahat saja di rumah"

"tapi dok.."

"kamu gak usah khawatir, Bintang sudah saya anggap seperti anak saya sendiri"

"terima kasih dok. Kabari saya kalau ada apa-apa"

Kelvin menghela nafas sedikit lega. Paling tidak Bintang ada yang menemani di rumah sakit.

Ia sangat bersyukur, sudah mengenal seseorang seperti dokter Risyad, yang notabennya melebihi orang tuanya sendiri.

Pada akhirnya Kelvin memutuskan untuk istirahat. Baru besok ia akan memikirkan cara untuk keluar dari rumah ini.

Sekalipun ia harus melawan orang tuanya sendiri.

Karena Kelvin sudah berjanji akan meninggalkan segalanya demi adeknya, demi kebahagian Bintang.

❗❗❗

Di rumah sakit dokter Risyad memandang intens wajah yang masih berbaring itu. Nampak sangat damai tak terganggu dengan suara gundah di sekitarnya.

"andai dia masih hidup, pasti sekarang dia sudah sebesar ini. Revan papa kangen sama kamu. Maafin papa yang tidak bisa membuatmu hidup lebih lama lagi"

Dokter Risyad mengeluarkan dompetnya dan membukanya. Di situ terlihat seorang anak sekitar enam tahunan yang tersenyum lebar ke arah kamera.

Dokter Risyad mengusap lembut foto yang sudah sedikit usang itu. Tubuhnya bergetar menahan isakan yang keluar dari mulutnya.

Selalu saja seperti ini, setiap ia teringat putranya yang sudah pergi meninggalkannya jauh sekali hingga ia tak sanggup merengkuhnya lagi.

"Revan papa merindukanmu. Semoga sekarang kamu bahagia disana"

Dokter Risyad menoleh ke arah belakangnya kala ia merasakan usapan yang menenangkannya. Di lihatnya Dahlia istrinya yang tengah tersenyum lembut ke arahnya.

"sudah lah mas, kita harus bisa merelakannya. Kamu tidak inginkan dia tidak tenang di alam sana".

Dahlia mencoba menenangkan suaminya,meskipun tak dapat di pungkiri. Setiap tengah malam ia selalu menangis, menangisi takdir yang begitu kejamnya.

Ia harus kehilangan putranya di usianya yang masih belia, yakni di usianya yang baru menginjak tujuh tahun karena penyakit jantung lemah yang dideritanya sejak lahir.

"aku tahu itu, tapi entahlah.." dokter Risyad mengusap kasar air matanya.

"kalau saja Revan masih disini pasti dia akan seimut anak ini" Dahlia tersenyum sendu menatap anak yang masih asyik dengan dunianya itu.

Ia ingat anak inilah yang menolongnya waktu itu. Meski sempat kabur dari rumah sakit dan membuatnya khawatir setengah mati.

Tapi pada akhirnya anak itu kembali lagi ke rumah sakit dengan keadaan yang jauh lebih buruk dari sebelumnya.

Belum lagi ia mendengar tentang anak ini yang ia ketahui bernama Bintang, di usianya yang masih remaja ia harus menanggung beban yang sungguh sangat berat.

"mas bagaimana kalau kita angkat Bintang menjadi anak kita. Entah sejak pertama kali aku melihat anak ini aku sudah merasa nyaman dengannya.

Dan lagi itu juga bisa mengobati rindu kita ke Revan. Mungkin saja kita bisa sedikit mengiklaskannya" Dahlia menatap penuh harap ke suaminya.

"itu tidak mungkin Lia. Kita bisa saja mengambilnya dari kedua orang tuanya, tapi kita tidak bisa mengambilnya dari kakaknya. Kamu tahu sendiri kan bagaimana Kelvin menyanyangi anak ini?.

Jika kita mengambilnya dari Kelvin, kamu pasti bisa merasakan apa yang di rasakannya. Lalu apa kamu mau Kelvin juga merasakan apa yang kita rasakan selama ini jauh dari orang yang kita sayangi" Jelas Risyad yang berharap istrinya akan mengerti.

Ia juga ingin mengambil anak itu, tapi ia juga tidak mungkin menyakiti orang yang sudah terpuruk dengan keadaan Bintang bertambah terpuruk.

"tapi kenapa mas.. Toh dia juga bisa melihatnya setiap saat. Kelvin tidak akan kesulitan untuk menemuinya. Paling tidak kita bisa memberikan kebahagian yang selama ini tidak pernah ia rasakan". Kekeuh Dahlia.

"lebih baik kita bicarakan nanti saja. Aku tahu bagaimana perasaan mu. Tapi jika kita mau mengambilnya kita harus mengambilnya secara baik-baik".

Dahlia hanya menganggukkan kepalanya.

"aku mau menunggunya disini, toh dia juga sendiri"

"baiklah kita akan menunggunya disini, aku sudah berjanji tadi ke Kelvin"

Pada akhirnya mereka memutuskan untuk menemani anak itu sambil memikirkan bagaimana mereka mengambil anak itu tanpa dengan paksaan apapun.

Karena percuma saja jika mereka melakukan paksaan pada akhirnya mereka sendiri yang harus hidup tanpa ketenangan..








Tbc...

Tentang BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang