Harapan

10K 603 0
                                    

Seorang pemuda mengeliat dalam tidurnya., padahal ini masih tengah malam tapi matanya belum juga mau di ajak untuk istirahat.

Padahal tubuhnya sudah memberontak ingin di istirahatkan. Seharian beraktivitas di luar rumah membuat tubuhnya benar-benar lelah.

Pemuda itu yang tak lain adalah Bintang menyibak selimutnya. Di turunkannya kakinya lalu berjalan menuju keluar kamarnya.

Kaki itu berhenti di depan pintu bercat putih, dengan perlahan ia meraih gagang pintu itu lalu membukanya perlahan.

Senyum bintang mengembang saat mendapati pemilik kamar itu tengah terlelap dengan damai.

Lantas Bintang kembali lagi ke kamarnya lalu masuk ke kamar mandi yang ada di kamarnya.

Setelah beberapa menit Bintang kembali dengan baju yang berbeda. Bintang mengambil tas hitamnya memasukkan seragam sekolahnya ke dalam tas hitamnya lalu kembali keluar kamarnya.

Langkah ringannya membawanya keluar rumah lewat pintu belakang yang biasanya memang tak pernah di kunci.

Setelah tadi Bintang menepuh perjalanan sekitar 30 menit dengan motor sport merahnya. Bintang menghentikannya di sebuah rumah seperti kontrakan lalu memasukinya.

"tidur di sini lebih nyaman dari pada di rumah besar itu. Andai saja rumah besar itu sehangat rumah ini" Bintang merebahkan di kasur king sizenya itu.

Iya itu adalah rumah yang Bintang beli sendiri dengan uang dari jerih payahnya sendiri.

Tidak ada satupun yang tau tempat itu kecuali dirinya dan kedua sahabatnya.

Rumah itu meskipun kecil tapi vasilitasnya sudah seperti apartemen kelas atas. Memang dulu tempat itu adalah bekas tempat tinggal mang Jono tukang kebun dirumahnya.

Tapi sekarang mang Jono sudah pindah ke Kalimantan. Dan karena dulu Bintang sering tinggal disini, ia meminta Mang Jono jangan menjualnya. Dan akhirnya ia merenovasinya dari uang hasil balapan dan bernyanyi di cafe.


Bintang menyusuri koridor di sekolahnya. Ini masih lumayan pagi hanya ada beberapa siswa yang sudah datang.

Ponsel Bintang terus bergetar sedari tadi, ia tahu siapa yang menghubunginya sepagi ini, siapa lagi kalo bukan Kevin abangnya.

Karena jengah ia mengambil ponsel yang terus bergetar itu, menekan tombol gagang berwarna hijau lalu menempelkannya ke telinganya.

Bintang meringis saat mendengar suara umpatan dari seberang telfon itu.

"berisik lo bang, ini masih pagi juga udah ngegas aja"

"lo dimana?" todong Kevin saat teleponnnya mendapatkan jawaban

"di sekolah lah , emang di mana lagi kalau jam segini"

"setelah pulang sekolah gue gak mau tau lo harus segera pulang"

"

gak gue masih ada urusan"

"gue gak terima bantahan Kamprett"

T

anpa babibu lagi Bintang langsung mematikan ponselnya, tak ia hiraukan lagi umpatan dari abangnya. Ia terlalu malas berada di rumahnya.

Bintang duduk di bangkunya, kembali mengeluarkan ponselnya lalu ia mendengarkan music melalui headsetnya untuk membunuh rasa bosan.

Bintang mendengus saat ponselnya kembali berulah karena abang tersayangnya itu kembali mengerimkannya pesan WA secara beruntun. Opsi terakhir Bintang mematikan paket datanya.

"lo udah ngerjain pr biologi belum?" tanya Agha salah satu sahabatnya yang baru saja datang.

"hmm" Bintang hanya menjawab dengan deheman malas menanggapi lebih.

"lo kenapa, ini masih pagi bro. Gak baik tau gak pagi-pagi gini di buat kalut. Pamali kata nenek gue" kekeh Rega yang melihat wajah sahabatnya ditekuk.

"hahhh biasa.." Bintang menghela nafasnya.

"Bonyok lo pulang?"

"hemm kemarin malam dan langsung memberikan kejutan". Kedua sahabat bintang baru menyadari lebam biru yang berada di sudut bibir Bintang.

"sory kita sebagai sahabat lo gak bisa bantuin lo. Ini masalah keluarga lo jadi kita gak bisa bantuin apa-apa" Rega merasa bersalah dengan Bintang.

"ahh sudahlah. Gue sangat bersyukur kok ada kalian di hidup gua. Kaliaan tau itukan?" mereka berdua hanya menggannguk kan kepalanya tak bisa membantah.

Karena memang itulah kenyataannya. Mereka ada untuk saling melengkapi satu sama lain. Saling menopang dan memberi suport saat salh satu dari mereka merasa down.

"pulang sekolah nanti kita ke bascamp, meles gua pulang."

"gak ahh bisa di gorok kita ma bang Kevin. Tadi pagi aja udah semprot karena mikir kita bawa lo kabur dari rumah" Agha memberenghut sebal.

Bintang terkekeh. Abangnya sangat perhatian dengannya berbeda sekali dengan kedua orang tuanya.

Bahkan Bintang tak pernah melihat sorot kehangatan di mata kedua orng tuanya. Yang ada hanya tatapan kebencian dan caci makian.

Bintang bahkan sudah tak tahu lagi apa kesalahannya. Kedua orang tuanya tak pernah mengatakan apa kesalahannya.

Semalam ia pulang telat, karena ia harus bekerja sebagai penyanyi di sebuah restoran ternama milik omnya Agha.

Dan sampainya di rumah ia mendapati pukulan telak dari Haris papanya disertai cacian maki dari Allana mamanya.

Sungguh miris hidupnya. Di usianya yang masih muda ia harus banting tulang menghidupi dirinya sendiri.

Kedua orang tuanya hanya memberikan jatah uang bulanan 500 ribu perbulan. Tapi untungnya ia mendapatkan beasiswa di sekolahnya. Jadi Bintang tak terlalu kepayahan menangani keuangannya.

Berbeda dengan abangnya yang mendapatkan segalanya. Fasilitas yang sangat lengkap. Uang bulanan yang selalu terjamin.

Tapi abangnya Bintang cukup perhatian, dia bahkan menabung untuk membelikan motor sport yang kini digunakan Bintang sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-17 kemarin..

Tapi di balik semua itu Bintang hanya berharap Kedua orang tuanya ada untuknya. Meliriknya bukan hanya menganngap Kevin sebagai anaknya.

Bintang terlalu sadar harapan itu terlalu sulit ia dapatkan tapi apa salahnya jika sekali ini saja ia berharap besar ke kedua orang tuanya.


Tbc...

Tentang BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang