Max membuka kedua matanya secara perlahan. Deringan ponselnya telah berhasil membuat pria itu terbangun.
"Calista?" gumam Max seraya bangkit untuk duduk. Seketika saja kedua matanya terbuka lebar. Tidak ada rasa kantuk sedikit pun yang ia rasakan ketika membaca nama tersebut.
"Halo."
"Baiklah, langsung saja to the point nya. Aku tidak bisa berbasa basi lagi."
"Vina? Ada apa?"
"Calista demam. Bisakah kau membelikan nya sesuatu yang bisa dimakan? Dan juga obat. Ia tidak memiliki nafsu makan sejak kau mengantar nya pulang."
"Baiklah. Aku akan segera kesana."
Panggilan pun terputus. Tanpa menunggu lama lagi, Max segera mengenakan pakaian nya kembali dan berjalan cepat menuju ke luar apartemen nya.
"Hei, mau kemana?" terlihat Sean yang tengah menonton bola. Ternyata pria itu belum tertidur.
"Aku ingin membeli makanan dan juga-"
"Aku ikut denganmu." potong Sean cepat.
Max mengangguk. Mereka lalu berjalan ke arah mobil.
•
•
•"Mengapa kita berhenti di depan sini? Bukankah ini sebuah apartemen?" tanya Sean.
Max menatapnya. "Tentu. Kita akan masuk ke dalam. Calista tengah sakit dan sahabatnya itu telah memberitahu ku."
Sean membeku. "Mengapa kau tidak memberitahu ku sebelumnya? Kukira kau akan membeli makanan saja dan setelah itu kembali ke apartemen."
"Sudahlah, ayo. Jika kau ingin pulang, maka berjalan kaki saja." jawab Max seraya keluar dari dalam mobilnya.
Sean menghela napas panjang. Ia pun menyusul sang sahabat.
Tidak mungkin juga ia akan berjalan kaki di saat pukul tiga dini hari seperti ini.
Setelah sampai di depan pintu apartemen, seketika Max menepuk dahinya. Ya, ia melupakan kartu duplikat apartemen itu.
"Tunggu sebentar." Max lalu mengambil ponselnya seraya menghubungi seseorang untuk saat ini.
"Aku sudah berada di depan pintu. Tolong buka pintu ini."
"Baiklah."
Panggilan pun terputus. Mereka lalu sibuk dengan pemikiran sendiri. Terlihat Sean yang saat ini dilanda rasa kegugupan. Terlihat dari raut wajahnya.
"Ada apa?" tanya Max.
Sean menatapnya seraya menggeleng.
Pintu pun terbuka. Memperlihatkan sosok Vina yang saat ini tengah menatap Sean dengan wajah yang sangat terkejut.
"Boleh kami masuk?" tanya Max.
Vina mengangguk cepat. "S-silahkan."
Max lalu memasuki apartemen tersebut. Tetapi lain hal nya dengan Sean dan juga Vina. Mereka tetap berada di posisi masing-masing.
"Silahkan masuk. Di luar sangat dingin." ujar Vina.
Sean menatapnya seraya mengangguk. Mereka lalu memasuki apartemen tersebut dengan perasaan yang tidak bisa ditebak.
"Aku akan segera mengurus Calista di dalam." ujar Max seraya membawa nampan yang berisi semangkuk bubur ayam, disertai obat penurun demam yang ia beli tadi.
Vina mengangguk. Saat ini ia dan juga Sean tengah duduk berhadapan.
Setelah Max menghilang dari balik pintu itu, terjadi keheningan diantara mereka berdua.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Sean yang saat ini tengah menatapnya dengan tatapan yang tengah dilanda...
Kerinduan.
Vina memberanikan diri untuk menatapnya. "Baik, seperti yang kau lihat sekarang ini. Bagaimana denganmu?"
"Baik dan rindu." jawab Sean.
Vina terdiam. Seketika ia menunduk.
"Maafkan aku." ujar Sean tiba-tiba.
"Lupakan semua itu. Tidak ada yang perlu dimaafkan disini." jawab Vina.
Sean terlihat bangkit berdiri. Seketika ia duduk di samping Vina.
"Maafkan aku." ujar Sean kembali.
Tiba-tiba saja, Vina terlihat menangis.
Ya, ia menangis. Padahal, ketika sedang bersama dengan Calista atau yang lainnya, ia tidak pernah mengeluarkan setetes air mata pun.
"Boleh aku memelukmu?" tanya Sean.
Vina terdiam seraya tetap menangis.
"Sikapmu itu aku anggap kau memperbolehkan ku." ujar Sean seraya memeluknya.
Tanpa sadar, Vina pun membalas nya. Pelukan itu, pelukan yang sangat ia rindukan. Akhirnya, ia merasakan nya kembali setelah sekian lama nya.
"Jangan menangis, kumohon." bisik Sean seraya mengelus pucuk kepala Vina.
Di lain tempat, saat ini Calista dan juga Max tengah melongo melihat kejadian tersebut.
Ia berniat akan mengantarkan Calista untuk mengganti pakaian di kamar mandi, tetapi saat keluar dari kamar tersebut, mereka melihat semua itu. Dari awal hingga saat ini, mereka berpelukan, Sean dan Vina. Sahabat mereka.
"Max, kau memikirkan apa yang kupikirkan saat ini?" bisik Calista.
Max menatapnya. "Tentu. Tetapi, lebih baik kita berdiam diri saja sampai mereka mengatakan yang sebenarnya."
Calista mengangguk. Setelah itu, Calista membatalkan perjalanan nya menuju ke arah kamar mandi.
•
•
•
KAMU SEDANG MEMBACA
My One Night Stand ✔
RomanceMax Bramasta Hallington, seorang dosen di salah satu universitas ternama di Indonesia. Pria matang yang berusia 30 tahun tersebut saat ini masih menyandang status lajang. Padahal, ia memiliki wajah yang sangat tampan sekaligus bergelimang harta. Tet...