Max berjalan menghampiri Calista yang saat ini tengah berada di dalam dapur.
Mereka memang telah berpindah tempat tinggal dan Max juga telah membeli sebuah rumah megah.
"Aku bosan berada di rumah." ujar Calista ketika ia merasakan tangan itu tengah memeluknya dari arah belakang.
"Lalu?" tanyanya.
"Aku ingin melanjutkan kuliahku." jawab Calista.
"Tidak untuk waktu dekat ini. Kau akan menjadi seorang ibu. Tetapi, jika mereka sudah beranjak remaja, maka kau boleh melanjutkan nya." jawab Max.
Calista membenarkan semuanya. Ia pun kembali melanjutkan proses pemanggangan nya. Calista memang tengah membuat sesuatu di dalam sana.
"Sudah selesai? Lebih baik kau beristirahat sekarang." tanya Max.
Calista menggeleng. "Belum. Aku harus menunggu ini sebentar lagi."
Bersamaan dengan itu, Calista merasakan perutnya yang mulai terasa sakit.
"M-max.." rintih Calista seraya memegangi perutnya yang telah membuncit.
Max terkejut. Ia segera membopong Calista menuju ke dalam mobilnya. Memang, saat ini adalah hari kelahiran nya.
Max pun segera mengemudikan mobil tersebut dengan kecepatan normal dan kadang sedikit lebih cepat.
•
•
•"Bagaimana keadaan Calista?" tanya Karin. Ya, Karin beserta suaminya telah berada di rumah sakit tempat Calista dibawa.
Max menggeleng. "Dokter masih melaksanakan tugasnya di dalam sana. Dan jika waktu persalinan tiba maka ia akan mempersilakan ku untuk masuk ke ruang bersalin."
Bersamaan dengan itu, seorang dokter pria yang terlihat sangat tampan itu terlihat berjalan menemui Max.
"Wow, sangat tampan." ujar Karin tiba-tiba.
Patrick menatap tajam ke arah dokter tersebut. "Lebih tampan suami mu yang satu ini. Suamimu ini juga telah berhasil menanamkan benih yang subur."
Karin memutar kedua matanya. Memang, sejak kehamilan nya berlangsung, ia menjadi suka melihat pria tampan yang bertebaran di setiap sudut.
"Baiklah, aku akan masuk ke dalam sana. Doakan semuanya agar lancar." ujar Max kepada mereka berdua.
"Tentu. Jika kami perlu masuk, maka katakan saja." jawab Karin. Ia tidak yakin jika perkataan nya di dengar oleh Max karena pria itu telah memasuki ruang bersalin sejak tadi.
"Proses bersalin nya tengah berlangsung dan-"
Max tidak menghiraukan perkataan sang dokter. Ia lantas segera mendekati Calista yang tengah merasakan sakit sekaligus berjuang disana.
"Bertahanlah sayang. Aku tahu, kau adalah wanita yang sangat hebat." ujar Max seraya menggenggam tangan nya.
"M-max.." ujar Calista seraya mendengar ucapan sang dokter untuk terus melakukan nya.
"Sedikit lagi, nyonya." ujar sang dokter yang terus berusaha disana. Begitupun juga dengan para suster.
"MAAAAXXXXXX." teriakan itu menjadi teriakan yang terakhir ketika seorang bayi mungil menangis.
"Wow, persalinan yang sangat cepat. Bayinya juga sangat sehat. Saya akan membersihkan nya terlebih dahulu." ujar sang suster seraya membawanya ke sudut ruangan.
"Selamat, kalian mempunyai seorang jagoan yang sangat kuat dan tampan." ujar sang dokter.
Max tersenyum senang. Ia lalu mencium kening Calista. "Kau hebat."
"Kalau begitu, saya permisi dulu. Sekali lagi, selamat." ujar sang dokter seraya berjalan keluar.
Bersamaan dengan itu, seorang bayi mungil yang tengah menangis pun telah berada di hadapan mereka berdua.
"Tampan sekali." puji Max seraya mengecupnya lembut.
Calista mendekapnya dan bersamaan dengan itu, tangisan nya pun terhenti.
"Dimana keponakan ku?" tanya Karin seraya berlari ke arah mereka berdua.
Ia berbinar. "Wow, tampan sekali. Tanpa aku menanyakan jenis kelamin nya, aku sudah mengetahui bahwa ia adalah laki-laki. Tampan."
Calista tersenyum lemah, bagian miliknya masih sedikit terasa sakit. "Terima kasih, kak. Aku juga akan menunggu keponakanku."
Karin tersipu. Tetapi tidak dengan Patrick.
"Karin dan aku akan membuatnya lagi. Jadi, nantinya pada saat waktu kelahiran, anak kami akan berjumlah 10 orang." ujar Patrick.
"Mengapa kau tidak menggenapi nya menjadi 11?" tanya Max disertai dengan gelak tawa mereka semua.
"Apakah aku terlambat?" tanya Vina seraya berjalan menuju ke arah mereka.
Calista tersenyum. "Tidak sama sekali."
Vina terlihat membinar. "Dia pasti laki-laki."
Max mengangguk. "Tepat sekali. Ngomong-ngomong, dimana Sean?"
Vina menghela napas panjang. "Tidak tahu."
Max dan Patrick lantas mengernyitkan dahi mendengar nya.
"Patrick, mungkin sebaiknya kita keluar sebentar." ujar Max.
Patrick mengangguk. "Kami akan membiarkan para wanita di dalam sini."
Karin menatap sang suami. "Jangan lupa, bawakan kami makanan setelah ini."
"Tentu, sayang. Aku tidak ingin jika kau dan calon anak kita kelaparan karena ayahnya yang terlambat memberikan sepiring nasi." jawab Patrick yang berhasil membuat Karin terkekeh.
"Baiklah, kami keluar dulu." ujar Max.
Di luar ruangan, Max lantas merasa bingung. Tumben sekali Sean tidak bersama dengan kekasihnya itu.
"Menurutmu, apakah Sean akan berjalan menjadi bastard?" tanya Patrick.
Max hendak menjawabnya tetapi ponselnya berdering.
"Sean menghubungi ku." ujar Max seraya menerima nya.
"Dimana kau?"
"Tidak ada basa-basi lagi. Temui aku di tempat biasa. Ada sesuatu yang sangat penting. Ajak Patrick juga."
"Tunggu, apakah ini berkaitan dengan Vina?"
"Bisa dibilang begitu."
"Baiklah, kami akan segera kesana."
Panggilan terputus.
"Apa yang ia katakan?" tanya Patrick penasaran.
"Ada sesuatu yang ingin ia katakan kepada kita. Berkaitan dengan kekasihnya itu. Ayo." jawab Max.
Mereka pun berjalan menyusuri koridor rumah sakit.
Di dalam kedua benak tampan itu, mereka lantas memikirkan apa yang akan dikatakan oleh Sean nantinya.
•
•
•
KAMU SEDANG MEMBACA
My One Night Stand ✔
RomansaMax Bramasta Hallington, seorang dosen di salah satu universitas ternama di Indonesia. Pria matang yang berusia 30 tahun tersebut saat ini masih menyandang status lajang. Padahal, ia memiliki wajah yang sangat tampan sekaligus bergelimang harta. Tet...