Aksara 1

129 16 16
                                    

Waktu bukan oreo yang bisa di putar.
-Author-


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Dibalik kacamata hitam yang bertengger di hidungnya, ada kesedihan yang berusaha ia tutupi. Jauh dari kerumunan orang-orang berbaju serba hitam itu dia berdiri terpaku. Menatap pusaran tanah yang masih basah. Menimbun seseorang dibawahnya, bersama dengan kenangannya.

Hancurlah sudah harapannya. Kini, dunianya tidak lagi secerah hari kemarin. Dia berusaha mati-matian untuk tidak ikut larut bersama kesedihan orang-orang itu. Sesaklah dadanya. Sudah tidak ada lagi harapan baginya, sudah nyata kepahitan hidup yang ia terima sekarang.

Beberapa lama ia beridiri di sana. Tampak orang-orang sudah mulai meninggalkan gundukan tanah itu. Kakinya mulai melangkah mendekat saat tempat itu sudah semakin sepi.

Dia terduduk. Mengelus batu nisan yang baru beberapa jam terpasang di atas tanah itu. Bibir bawahnya bergetar. Dia sudah tidak tahan lagi. Sangat sulit menerima kenyataan hari ini. Dia mendongak, mencoba menahan air mata yang akan menerobos benteng pertahannya. Namun, mustahil. Dia tetap meluncur bebas layaknya perosotan anak TK.

"Del, lo buat gue lemah hari ini." ucapnya lirih sambil menghapus air matanya.

"Lo bilang, lo nggak bakal ninggalin gue. Tapi apa?" Senyumnya mengambang. Terlihat seperti senyum penuh keperihan. Matanya menatap kearah batu nisan bertuliskan AMANDA ADELIA.

"Besok gue ulang tahun, Del. Biasanya-kan lo nyalain lilin ulang tahun buat gue."

"Biasanya kan gue terlalu gengsi buat ngaku, sekarang lo boleh dengerin sepuas lo. Gue cinta sama lo, Adel. Gue sayang sama lo." ucapnya tulus. Seperti seseorang yang diajaknya berbicara ada di depan mata.

"Gue kira, lo bakal kembali. Tapi nggak."

Dia berdecak, "ternyata, kehilangan itu menyakitkan, yah?"

Laki-laki itu enggan meninggalkan tempatnya padahal hari sudah sore. Ditambah hujan yang baru saja turun membuat bajunya kotor sekarang. Tapi dia tidak peduli. Dia masih ingin berada ditempat itu. Berdua, bersama kekasihnya.

"Aksa!" dia menoleh, saat merasa seseorang memanggil namanya. "Pulang, yah?"

"Nggak mah, Aksa masih pengen di sini. Kalo mama mau pulang, duluan aja. Kunci mobil ada sama papa, kok." Dia kembali menatap batu nisan milik Adel.

"Aksa, ini hujan lho, nanti kamu sakit."

"Biar nggak hujan juga Aksa udah sakit mah. Adel ninggalin Aksa!" adunya dengan wajah penuh kesedihan.

"Sayang, pulang yah? Adel juga bakal sedih ngelihat kamu kayak gini!"

"Nggak! Aksa tetep disini nemenin Adel!"

"Aksa!" sahut mamanya kini mulai membentak. " Jangan kayak gini! Adel udah pergi!"

"Trus Aksa harus apa mah? Ini semua salah Aksa! Coba aja Aksa nggak--"

"AKSA!!" Bentak mamanya lagi membuat tangan aksa terkepal. Meremas tanah basah itu.

"Tinggalin Aksa sendiri mah! Plisss. Aksa butuh waktu!" pintanya membuat mamanya itu menghela napas panjang.

"Yasudah. Terserah kamu!" ucapnya sebelum meninggalkan Aksa sendiri disana.

Hujan semakin deras saja. Seperti semesta ikut merasakan apa yang Aksa rasakan. Entah, dia harus menyalahkan siapa. Malam itu sudah merenggut semuanya dari Aksa.

Cintanya, harapannya, semangatnya, semuanya hilang bersama dengan kepergian Adelnya itu. Ini salahnya. Benar-benar salahnya.

****

AKSARA [Biarkan Aku Memilih]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang