"Oke. Gue cuma mau ngasih info kalo hari ini adalah hari terakhir yang dikasih om Abar buat ngirim uang itu." Ara tiba-tiba menghentikan langkahnya dan seketika menoleh.
"Maksud kamu?"
"Uang lima ratus juta yang diminta sama bokap laknat lo itu. Tepat pukul empat sore nanti kalo lo nggak ngirim uang itu juga, om Abar bakal habisin Kintan saat itu juga!"
Ara membulatkan matanya tidak percaya, "Kintan?"
"Iya. Kintan. Mama lo!"
Seketika dunia Ara seperti ambruk saat itu juga. Kaki Ara seperti tidak kuat menahan berat tubuhnya. Dia terduduk sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.
"Hari ini?" sahut Ara. "Tapi bagaimana bisa? Aku belum punya uang itu!"
Mata Ara berkaca-kaca. Ara segera bangkit dari duduknya dan berlari masuk ke dalam kamarnya. Dia membuka lemarinya dan mengambil kotak berwarna merah berisi perhiasan pemberian dihari pernikahannya dengan Aksa.
"Ini nggak cukup!" Ara kembali membuka laci dan mengambil dompetnya. "Ini juga nggak bakal cukup!" ujarnya saat melihat isi dompetnya tidak begitu banyak. Ara menangis lagi.
"Mama, gimana ini? Ara nggak punya uang. Ara harus gimana?!" sahut Ara frustasi. Ia menangis sejadi-jadinya.
Tapi dia tidak putus asa. Ara kembali mengacak kamarnya, mencari sesuatu yang bisa dia jadikan uang. Ara sangat membutuhkan uang sekarang.
"Ra!" Aksa berteriak dari balik pintu tatkala dia melihat perempuan itu tengah mengacak-acak ruangan lagi.
"Aku butuh uang!" katanya sambil terus mencari.
Aksa meraih tubuh wanita itu dan mendekapnya agar tidak banyak bergerak. Ara terus meronta sampai Aksa dibuat sedikit kewalahan. Aksa mengambil kotak obat yang ada di atas ranjang dan mengambil satu pil obat itu. Lantas tanpa permisi dia memasukkan pil obat itu kedalam mulut Ara dan memaksa perempuan itu untuk menelannya.
Beberapa menit kemudian tubuh Ara melemas. Aksa dengan sigap menahan tubuh Ara dan membawanya ke tempat tidur.
"Lo tenang, Ra!" gumam Aksa sambil membantu Ara meluruskan kakinya dan memasang selimut ke tubuhnya.
"Semua bakal baik-baik aja, Ra. Lo percaya sama gue!" ucapnya meyakinkan. Ara hanya berdehem pelan lalu kembali tertidur karena efek obat penenang itu.
"Gue bakal jagain lo, Ra! Apapun yang terjadi dia nggak bakal nyentuh lo ataupun keluarga lo!" gumamnya. "Gue janji nggak bakal ninggalin lo sampai semuanya selesai."
"Gue janji, Ra!"
*****
Ara tiba-tiba terbangun dari tidurnya. Perkataan Aksa terngiang di dalam pikirannya. Pukul empat sore. Dia menoleh kearah jam yang ada diatas nakas yang sudah menujukkan pukul dua siang.
"Aku masih punya waktu!" gumamnya. Dia bangkit dari tidurnya dan mengganti pakaiannya.
Ara celingak celinguk memastikan jika apartemen ini sedang kosong. Biasanya di jam seperti ini Aksa masih berada di kantor.
"Aman!" ucapnya lalu dia berjalan keluar dari apartemennya.
Ara memberhentikan sebuah mobil dan masuk kedalamnya. Mobil itu membawanya menyusuri jalanan. Lima belas menit akhirnya mobil itu berhenti tepat di sebuah tempat yang lumayan ramai.
Ara. Gadis itu nampak menimang-nimang antara masuk ke dalam atau tidak.
"Ara kamu tenang. Semuanya bakal baik-baik aja. Ini semua demi mama!" ucap Ara pada dirinya sendiri. "Semoga dia ada di dalam!"
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARA [Biarkan Aku Memilih]
TienerfictieBagaimana sensasinya jika kamu dijodohkan oleh saudara tunanganmu? Kira-kira bagaimana caramu mengekspresikannya? Marahkah? Kesalkah? Atau malah biasa aja? Itulah yang dialami Aksatama Ferhandiola. Karena sebuah keputusan yang terburu-buru, dia haru...