Aksara 23

34 2 0
                                    

Aksa dan Ara baru saja tiba di apartemennya. Aksa melonggarkan dasi yang ada di lehernya sembari duduk di atas sofa.

"Ra!" Panggil Aksa membuat Ara menoleh.

"Iya, Sa?"

"Sini!" Aksa menepuk-nepuk tempat yang ada di sebelahnya. Ara merasa canggung. Sikap Aksa yang tiba-tiba berubah lebih hangat membuat Ara tidak bisa beradaptasi. "Ra, sini. Gue mau ngomong sama lo." Ucapnya lagi.

Ara menghela napas lalu menuruti perkataan Aksa.

"Kamu mau ngomong apa?" Tanya Ara sambil meletakkan tasnya diatas meja.

"Hmmm, gue boleh nanya sesuatu nggak?"

Ara mengangguk, "Boleh. Selama aku bisa jawab kenapa enggak?!"

"Sejak kapan om Abar bersikap kayak gitu sama kamu?"

Ara awalnya terdiam lalu mengedikkan bahunya tidak tahu. "Semua terjadi begitu aja. Aku nggak tau kalo ternyata papa kayak gitu. Aku juga bahkan nggak tau kalo dia itu papa aku!"

Alis Aksa terangkat, "Kok bisa?"

"Mama tertutup banget soal informasi tentang papa. Mama nggak pernah nyinggung soal papa bahkan namanya pun mama nggak ngasih tau." Ara menarik napas sejenak, "Dulu, sejak ada kabar tentang kematian Adel, mama langsung ke Jakarta buat pastiin kabar itu. Disana juga aku ketemu sama papa untuk pertama kali."

"Lalu?"

"Lalu semuanya berjalan seperti biasa. Papa baik sama aku dan baik sama mama juga. Papa bahkan menyewa rumah biar aku sama mama bisa tinggal di Jakarta."

"Kalau gitu, kenapa om Abar berubah?"

Ara menarik napasnya dalam-dalam lalu menghelanya, "Aku nggak tau. Bahkan dua tahun aku dan mama tinggal di Jakarta nggak ada masalah, semuanya baik-baik aja. Tapi waktu itu mama tiba-tiba ngotot pengen balik ke Bandung lagi. Dan dari situ mama sama papa mulai renggang lagi. Mereka bahkan bertengkar di depan mata aku sendiri." Ucap Ara menjelaskan dengan suara berat. Seperti ada sesuatu yang ia tahan.

"Alasan mama lo apa sampe tiba-tiba pengen ke Bandung lagi? Nggak mungkin dong mama kamu pengen balik gitu aja."

"Yah, mungkin ada alasan. Tapi aku nggak tau alasannya apa. Aku nggak berani nanya ke mama, soalnya setiap aku bahas papa, mama selalu marah dan bahkan nangis sendiri. Aku bingung mau gimana!"

Aksa mengangguk paham, "Trus sekarang mama lo dimana?" Tanya Aksa lagi.

Tiba-tiba Ara terdiam. Dia membuang pandangannya ke arah lain. Tangannya pun sibuk memainkan ujung bajunya.

"Ra?" Aksa memegang pundak Ara membuat gadis itu menoleh dengan cepat. "Are you okay?"

Ara tersenyum tipis seraya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ara mendongakkan kepalanya. Matanya menjadi panas saat mendengar pertanyaan itu. Ara mati-matian menahan diri agar tangisnya tidak pecah di depan Aksa. Dia menarik napas panjang.

"Aku nggak tau mama dimana.." sahutnya lirih dengan suara bergetar. "Aku nggak tau keberadaan mama dimana, Sa."

Tubuh Ara bergetar hebat. Isakan tangis akhirnya terdengar lirih dari mulut gadis itu. Dia menatap Aksa dengan tatapan sayu. "Papa nyembunyiin mama dari aku. Aku nggak pernah ketemu sama mama lagi. Aku kangen sama mama, Sa. Bawa mama ke aku. Bantu aku cari mama." Sahut Ara memelas.

Aksa segera menarik tubuh gadis itu dan menenggelamkan ke dalam pelukannya. Dia mengelus punggung gadis itu seraya menenangkannya.

"Aku kangen sama mama.." gumam Ara.

Aksa mengangguk mengerti lalu mengelus rambut panjang Ara. Dia lantas mengurai pelukannya dan menangkup wajah Ara. Aksa tersenyum sambil mengelap sisa-sisa air mata Ara.

"Kita balik ke Indonesia, mau?"

Mata Ara seketika berbinar penuh harap, "Beneran?"

Aksa mengangguk mengiyakan, "tapi tunggu pekerjaan gue kelar dulu baru kita balik. Gimana?"

Ara tersenyum bahagia dan lantas mengeratkan pelukannya ke tubuh kekar milik Aksa. "Makasih, Sa. Makasih banyak."

Aksa membalas pelukan Ara, "Sama-sama."

***

Setelah mengantar Ara ke apartemen, Aksa kembali lagi ke kantornya. Dia berjalan gontai menuju ruangannya yang ada di lantai dua puluh. Di ruangannya sendiri sudah ada seorang laki-laki yang menunggunya.

"Gimana?" Tanya Johan. "Dia bener ada di sana, kan?"

Aksa menghela napas lalu duduk di kursi kebesarannya, "Iya. Ara emang ada di tempat itu."

"Nah, benerkan! Gue emang nggak salah liat." Ucap Johan. Memang ia tadi melintas di depan club itu dan tidak sengaja melihat Ara turun dari mobil. Karena penasaran dia segera menghubungi Aksa dan hal itulah yang membuat Aksa kesan tadinya.

"Gue berterima kasih sama lo, Jo. Untung aja lo ngasih tau gue. Kalo nggak, gue nggak tau apa yang terjadi sama Ara kali ini!" Aksa menyandarkan tubuhnya di kursi sambil memijit pangkal hidungnya.

Mendengar ucapan itu, Johan lantas menyerngit bingung, "Lo care sama dia? Bukannya lo mau--"

"Itu dulu. Ternyata selama ini gue salah besar nilai Ara. Dia cewek yang punya segudang masalah, Jo. Gue bener-bener kasihan sama dia!"

"Emangnya masalah apa sampe lo kasihan banget sama dia?"

"Gue nggak tau lo percaya ini apa enggak tapi.." Aksa menggantungkan perkataannya.

"Tapi apa?"

"Tapi gue harus bilang kalo Abar, papanya Ara dan Adel adalah iblis berjubah malaikat!"

Johan mengangkat kedua alisnya, "Maksud lo?"

"Gue nggak tau mau jelasin mulai dari mana. Yang jelas, jangan percaya sama wajah wibawa Abar. Dia ternyata tidak sebaik yang kita lihat. Cih!" Amarah Aksa memuncak lalu dia bangkit dari duduknya dan berdiri di depan jendela.

"Trus lo mau ngapain? Jangan bilang kalo lo mau bertindak yang enggak-enggak lagi!"

"Lo tau persis gue orangnya kayak apa. Gue bisa aja bunuh dia. Tapi enggak, Jo. Gue nggak mau semuanya berakhir datar. Gue pengen ikut bermain dalam rencana Abar!"

"Lo ngomong apa sih? Gue nggak ngerti, sumpah!"

Aksa membalikkan badannya lalu menatap Johan, "Lo harus bantu gue!"

"Bantu apaan? Lo ngomong aja gue nggak ngerti!"

Aksa berdecak, "Lo bakal balik ke Indonesia besok, kan?" Johan mengangguk mengiyakan. "Gue tau lo itu mantan mafia, jadi lo  pasti punya mata-mata. Nah, gue minta tolong sama lo buat cari tau tentang Abar dan cari tau tentang keberadaan Kintan."

"Kintan? Kintan siapa lagi? Enggak. Enggak. Gue nggak mau ikut-ikutan sama urusan rumah tangga lo!" Ucapnya menolak.

"Ini nggak akan gratis kok. Gue bakal bayar lo berapapun yang lo mau!"

Johan lantas menegakkan punggungnya dan tersenyum. Seperti tergiur oleh tawaran itu. Soal uang, Johan memang tidak bisa menolak.

"Oke. Oke. Gue bakal bantu lo. Dengn senang hati!"

Aksa memutar bola matanya malas, " Pokoknya gue nggak mau tau. Lo harus dapet informasi sebelum gue balik ke Indonesia. Kalo lo bisa dapet informasi yang buat gue puas, lo bakat dapet bayaran tiga kali lipat dari apa yang lo mau!"

Mata johan berbinar cerah, "Tenang aja. Gue bakal usaha buat dapetin uang itu.. Eh maksudnya informasi itu." Johan tertawa cengengesan.

"Jangan banyak ngomong. Buktiin sama gue kerja keras lo itu. Gue bakal tagih di Indonesia!"

Johan mengangguk, "Lo tenang aja. Serahin semuanya sama gue!"

To Be Continue

AKSARA [Biarkan Aku Memilih]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang