"Aksa kamu yakin berangkat malam ini?" tanya Ara sambil berusaha menyeimbangkan langkahnya dengan langkah kaki milik Aksa.
Aksa tidak langsung menjawab melainkan hanya terus berjalan, sampai akhirnya ia memasuki lift yang hanya diisi oleh mereka berdua.
"Kenapa? Lo keberatan?" sahut Aksa, akhirnya membalas pertanyaan Ara.
"Nggak, bukan gitu. Kita nggak bisa berangkat tiba-tiba kayak gini."
"Lo ngatur gue?" tebaknya membuat Ara menggeleng cepat.
"Nggak. Aku nggak ngatur kamu. Tapi kita nggak bisa berangkat tiba-tiba kayak gini. Masih banyak yang perlu aku lakukan di sini."
"Jangan sok sibuk. Lo itu pengangguran. Mana ada pengangguran punya banyak kerjaan!" sindirnya.
Aksa hendak melangkah keluar saat pintu lift terbuka. Namun dengan cekatan Ara segera menahan langkah pria itu dengan cara mengenggam tangannya kuat-kuat.
"Tidak, Aksa!" ucap Ara. "Kita nggak bisa pergi secepat ini!"
Aksa menggeram tidak suka dan menghempas tangan Ara jauh-jauh.
"Lo siapa berani ngatur-ngatur gue?!"
"Aku istri kamu!"
"Istri?" Aksa menaikkan sebelah alisnya, "Lo bukan istri sah gue. Gue nggak suka sama lo. Dan selamanya gue nggak bakal pernah suka sama lo!"
"Perasaan itu punya kamu. Kamu suka ataupun tidak sama aku, aku bakal tetap memperlakukan kamu sebagai suami aku."
"Gue nggak butuh lo!"
"Tapi aku butuh kamu!"
Aksa mengepalkan tangannya kuat-kuat.
"Terserah lo mau ikut atau nggak, gue bakal tetep pergi!" Aksa segera menarik kopernya dan pergi meninggalkan Ara yang berdiri mematung di depan lift. Ara menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya ia kembali masuk kedalam lift, membatalkan niatnya untuk pergi bersama Aksa.
"Maafin aku, Sa. Aku udah manfaatin kamu. Tapi aku janji, aku bakal balikin kebahagiaan kamu. Aku janji!" gumamnya.
***
"Shittt!!!" umpatnya lalu menghempas tubuhnya diatas sofa.
"Lo kenapa bro?"
"Dia nggak mau ikut sama gue!"
"Lho, kok bisa? Trus kalo dia nggak ikut sama lo, rencana lo bisa batal dong!"
"Nah itu, gue juga pusing!" katanya lalu memijat pangkal hidungnya.
Aksa memang tidak ke bandara melainkan pergi ke apartemen milik Johan. Tadinya ia berniat pergi, namun diurungkan. Sebab tujuan utamanya tidak ikut bersamanya.
"Jadi gimana? Lo tetep balik ke New York?"
"Ya enggak lah, yakalii gue balik trus dia tetep di sini. Yang ada gue di gampar sama bokap nyokap!" ucap Aksa lalu meneguk wine yang Johan sodorkan. "Pokoknya gue nggak mau tau. Lo harus bantu gue cari cara supaya si Ara mau ikut sama gue!"
Johan menatap lurus kearah lantai seraya berpikir. Lebih tepatnya memikirkan sebuah ide.
"Atau gimana kalo besok pagi lo dateng ke kantornya om Abar." usulnya.
Aksa mengerutkan keningnya, "untuk?"
"Yaa, ngadu maybe?"
"Lo kira gue anak kecil pake ngadu segala?!" tolaknya sambil kembali meneguk winenya.
"Tapi kan setidaknya setelah lo ngadu, om Abar bakal bujuk Ara buat ikut sama lo!"
Aksa tampak berpikir sejenak, "iya juga. Tapi kalo Ara tetep nggak mau ikut, gimana?"
"Optimis kek. Coba aja dulu. Kalo nggak berhasil baru kita pikirkan cara yang lain!"
"Oke. Gue ikutin saran lo!"
****
Tidak main-main dengan ucapannya. Keesokan harinya, Aksa benar-benar mendatangi perusahaan milik Abar yang notabennya adalah ayah mertuanya sendiri. Dengan setelan jas lengkapnya ia berjalan menyusuri gedung itu. Mata orang-orang tidak lepas menyorot dirinya. Mungkin karena ia begitu tampan, apalagi ketika memakai pakaian kantornya.
"Selamat pagi, om!" sapa Aksa saat baru saja memasuki ruangan milik Abar.
"Eh, Aksa. Ayo masuk, nak!"
Aksa tersenyum tipis lalu duduk di kursi yang ada di seberang Abar.
"Ada apa? Ada sesuatu yang penting?" tanya Abar.
"Hmm. Sepertinya iya. Saya ingin berbicara tentang anak om!"
"Anak saya? Ara maksudmu?" Aksa mengangguk mengiyakan. "Memangnya ada apa dengannya?"
"Om tau, saya berkarir di luar negeri. Dan om Abar juga tau, kalo saya seorang CEO, kan?"
Abar mengangguk membenarkan, "iya saya tau. Lalu, ada apa?"
"Kemarin saya berniat untuk kembali ke Amerika. Semua berkas-berkas keberangkatan sudah saya urus. Tapi saya batalkan. Karena apa? Karena Ara om!"
"Ara?"
"Iya. Anak om mengacaukan semuanya. Dia tidak jadi ikut dengan saya. Bahkan dia membatalkannya setelah kita sudah siap untuk berangkat ke bandara. Bisa saja saya pergi sendirian, tapi om tau. Mama sama papa saya sangat sayang sama anak om. Tidak mungkin dia membiarkan saya untuk meninggalkan anak om!" ucapnya panjang lebar dengan nada suara sedikit kesal membuat Abar tidak enak hati.
"Maaf, Aksa. Om benar-benar minta maaf. Om jadi tidak enak sama kamu."
"Om tau, saya orang sibuk. Saya tidak bisa tinggal di sini terlalu lama."
"Iya. Saya tau. Nanti saya akan bujuk Ara untuk ikut sama kamu. Kamu jangan khawatir soal itu!"
"Baiklah om. Kalau begitu saya pergi dulu!" sahut Aksa lalu berdiri dari duduknya. Aksa mencium punggung tangan milik Abar sebelum pergi dari sana.
****Ara sedang sibuk berkutat dengan alat masak. Aroma menggugah selera tercium hingga setiap sudut ruangan apartemennya itu. Bumbu-bumbu khas Indonesia menyeruak di indera penciuman. Memang jika urusan masak, Ara juaranya.
"Non.." panggil Bi Niah membuat Ara menoleh sekilas.
"Iya Bi, ada apa?"
"Ini hape non Ara, dari tadi berbunyi!"
"Oh ya?" Ara segera mengelap tangannya pada celemek yang melekat di tubuhnya sebelum ia mengambil alih ponselnya.
3 Pesan belum terbaca
Ara segera membaca pesan itu.
Xxxx:
Jgn main-main dngnku!Xxxx:
Atau dia yg akan menanggung akibatnya!Xxxx:
📽VIDEOAra membulatkan matanya dan menutup mulutnya dengan sebelah tangannya. Tiba-tiba matanya meloloskan air mata tanpa persetujuan darinya. Tangannya bergetar dan hatinya sakit, seperti merasakan apa yang ada di dalam video itu.
Seorang wanita dengan tubuh kurus sedang di siksa menggunakan tali pinggang yang di pukulkan ke tubuhnya. Perih sekali, bahkan wanita yang ada di dalam video itu menjerit kesakitan.
"Non.. Non nggak apa-apa?" tanya Bi Niah.
"Enggak, Bi. Saya nggak apa-apa!" Ara tersenyum paksa dan menghapus air matanya. "Bibi lanjutin masaknya yah. Saya ada keperluan sebentar!" Ara membuka celemeknya dan bergegas pergi dari sana.
To Be Continue
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARA [Biarkan Aku Memilih]
Teen FictionBagaimana sensasinya jika kamu dijodohkan oleh saudara tunanganmu? Kira-kira bagaimana caramu mengekspresikannya? Marahkah? Kesalkah? Atau malah biasa aja? Itulah yang dialami Aksatama Ferhandiola. Karena sebuah keputusan yang terburu-buru, dia haru...