Aksa sedang menikmati malamnya dengan menonton televisi. Kakinya di selonjorkan diatas meja pun pakaian kemejanya sudah diganti dengan kaos oblong yang dipadukan dengan celana boxer. Aksa memfokuskan matanya ke layar televisi sampai suara pintu di buka mengalihkan perhatiannya.
"Eh elo. Kirain siapa!" ucap Aksa saat Johan tiba-tiba muncul.
"Lo kira Ara ya?" timpalnya sedikit menggoda.
"Yah iya. Kan yang tau kode apartemen gue cuma elo, Ferel sama Ara."
Johan mengangguk-anggukan kepalanya. "Oh iya, gimana? Lancar nggak?"
"Maybe!"
"Tapi apa lo nggak kelewatan? Kasian anak orang itu."
"Yaudah kali santai aja!" ucapnya lalu memasukkan cemilan kedalam mulutnya.
Tidak lama, pintu apartemen terdengar sedang di buka. Kedua perhatian laki-laki itu nampak teralih ke sumber suara. Namun alangkah terkejutnya ia saat melihat siapa yang datang.
Yap. Benar sekali. Ara. Yang datang adalah Ara.
Penampilannya sudah acak-acakan. High heels sudah di tenteng di kedua tangan. Matanya sembab. Jidatnya membiru. Bahkan tangannya penuh darah yang sudah mengering. Kondisinya sangat memprihatinkan sekali.
Ara memberanikan diri mendekat kearah Aksa. Entah mengapa, harga dirinya kembali terinjak saat melihat wajah Aksa. Begitu hinakah dia di mata Aksa?
Ara meletakkan high heelsnya di lantai dan menatap Aksa lekat-lekat. "Aku salah apa sama kamu?" tanyanya pelan dengan suara serak.
"Aku salah apa sama kamu, Sa?" tanyanya lagi namun yang ditanya tidak berniat menjawab.
"Segitu nggak sukanya kamu sama aku sampai-sampai kamu jual aku ke dia, iya?" tanyanya lagi tapi Aksa tetap bungkam.
"Aku bukan barang yang bisa kamu tarik ulur pake uang!" Ara mulai menangis. "Aku menikah sama kamu bukan untuk dijadiin pelacur, Sa! Aku nggak serendah itu!"
Johan tampak meringis. Melihat keadaan Ara membangkitkan rasa iba di hatinya. Sedangkan Aksa? Dia tidak berekspresi. Dia hanya menatap Ara tanpa berkedip.
"Aku punya harga diri, Sa. Sama seperti orang-orang." Ara semakin menangis.
"Bukan cuman kamu yang nggak bahagia, Sa. Aku juga nggak. Bahkan aku nggak pernah tau gimana caranya bahagia. Kamu kira aku menikah sama kamu karena inisiatif aku sendiri? Enggak! Kita berdua dalam posisi yang sama. Semua paksaan. Bukan cuma kamu tapi aku juga."
Ara menghapus air matanya, "aku bisa nerima kalo kamu selalu bentak aku. Kamu selalu ngata-ngatain aku. Kamu benci sama aku. Aku nerima!" Emosi Ara sudah bisa ia kontrol sepenuhnya. Tangannya mengepal membuat luka yang ada di tangannya kembali berdarah.
"Tapi aku bukan wanita seperti yang ada di dalam pikiranmu. Aku bukan wanita murahan!"
Mengucapkan kata murahan semakin membuat Ara sakit. Dia kembali menangis. Namun kali ini dia tidak ingin menunjukkan kepedihannya dan memilih masuk ke dalam kamarnya.
Sedangkan Aksa? Pria itu bungkam. Setelah Ara pergi dari hadapannya, Aksa kembali menonton televisinya. Namun kali ini tatapannya kosong. Matanya memang tertuju di layar namun pikirannya melayang kemana-mana.
"Anak orang digituin yah pasti mewek lah." ucap Johan mengutarakan isi kepalanya. "Semua cewek nggak mau kali digituin. Coba aja Adel masih hidup, udah mampus lo ditangan dia gara-gara keterlaluan sama sodaranya!"
Aksa tidak menjawab dan malah mematikan layar tv-nya.
"Lo pulang. Gue mau tidur!" ucapnya sebelum ia masuk kedalam kamarnya. Johan berdecak kesal ditinggal oleh Aksa. Mau tidak mau ia harus pulang, padahal sebenarnya ia masih ingin lebih lama di sini. Tapi apa daya, si pemilik apartemen sudah mengusirnya pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARA [Biarkan Aku Memilih]
Roman pour AdolescentsBagaimana sensasinya jika kamu dijodohkan oleh saudara tunanganmu? Kira-kira bagaimana caramu mengekspresikannya? Marahkah? Kesalkah? Atau malah biasa aja? Itulah yang dialami Aksatama Ferhandiola. Karena sebuah keputusan yang terburu-buru, dia haru...