Ara dengan telaten mengobati telapak tangannya yang terluka akibat tergores pecahan kaca semalam. Ia menaruh obat merah diatas lukanya membuatnya sedikit meringis karena perih.
"Sini biar gue bantu!" serunya saat laki-laki itu tiba-tiba saja duduk di sebelahnya. Ara tidak mengindahkan ucapannya dan memilih untuk tidak menganggapnya ada.
"Lo marah sama gue?" tanya Aksa lagi tapi Ara tidak menjawabnya. Lagi-lagi dia di acuhkan. "Emang gue salah apa sama lo?"
Pertanyaan macam apa itu! Apa dia lupa apa yang dia lakukan semalam? Atau apa perlu Ara menjelaskan kesalahannya? Sepertinya tidak. Kesalahannya sudah sangat jelas. Dan Aksa tetaplah Aksa. Manusia yang satu itu memang tidak pernah menganggap dirinya salah. Dia selalu menang.
Ara tidak menjawab melainkan memilih membereskan kotak P3K itu. Dia berdiri meninggalkan Aksa sendiri dan kembali masuk ke kamarnya. Tapi tidak semudah itu. Tingkah Ara membuat Aksa risih. Dia tidak suka diabaikan meskipun dia suka mengabaikan orang.
"Lo belum jawab pertanyaan gue!" ucap Aksa sambil mencekal tangan Ara. Perempuan itu menghela napas lalu menghempas tangan Aksa. Namun Aksa tidak akan membiarkannya dan kembali meraih tangan perempuan itu.
"Lo marah sama gue?" tanya Aksa tanpa merasa berdosa sedikitpun.
"Aku marah atau enggak apa urusannya sama kamu?" ucapnya. "Bukannya ini yang kamu mau setelah kamu hancurin harga diri aku?"
Ara kembali menyingkirkan tangan Aksa jauh-jauh. Dia masuk kedalam kamarnya dan mengunci pintunya rapat-rapat.
Aksa hanya diam mematung di depan kamar Ara. Tidak tahu harus berbuat apa lagi. Dia seperti orang bodoh. Untuk apa dia menanyakan hal itu? Apa penting untuk tahu Ara marah atau tidak padanya? Sepertinya tidak. Sejak kapan urusan Ara menjadi urusan Aksa juga? Tidak. Itu tidak akan pernah terjadi.
Aksa masuk ke dalam ruang kerjanya dan mengambil laptopnya sebelum ia kembali duduk di sofa depan tv. Menyelesaikan beberapa pekerjaan kantor lebih menyenangkan daripada harus memikirkan perempuan itu. Dia mencari posisi ternyaman lalu menyalakan benda elektronik itu.
Derttt.. Dertt.. Dertt..
Suara ponsel berdering sedikit mengganggunya. Aksa meletakkan laptopnya di samping dan meraih benda pipih yang ada di atas meja.
Tapi tunggu dulu. Itu bukan ponselnya melainkan ponsel milik Ara. Tidak biasanya perempuan itu teledor menaruh ponselnya sembarang tempat. Biasanya benda itu selalu ia simpan di dalam kamarnya.
"Raa!!" teriak Aksa. Dia tidak langsung mengangkat telfonnya karena ia sadar ponsel itu bukan miliknya dan mengangkat telfon itu bukan haknya.
"Araa!!" panggilnya sekali lagi. "Hape lo bunyi!"
Tidak ada sahutan dan ponselnya terus saja berdering. "Tuh anak lagi boker kali. Atau gue angkat aja?" tanyanya pada diri sendiri. "Oke, gue angkat aja. Siapa tau penting."
Aksa mengangkat telfon itu dan mendekatkannya di telinga.
"Hal--"
"Aduh, Ra. Lo darimana aja sih? Lama banget deh!" protes seseorang dari seberang telfon membuat Aksa tersentak kaget. Aksa membulatkan matanya dan tampak terbius dengan suara itu.
"Ra! Kok lo diem sih?"
"Raa!! Lo masih disana kan?"
"Haloo, Ra!"
"Araaa!!"
Aksa terdiam dan hanya menyimak apa yang dikatakan penelfon itu. Jantung Aksa masih berdebar tidak karuan. Entah ada apa dengan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARA [Biarkan Aku Memilih]
Teen FictionBagaimana sensasinya jika kamu dijodohkan oleh saudara tunanganmu? Kira-kira bagaimana caramu mengekspresikannya? Marahkah? Kesalkah? Atau malah biasa aja? Itulah yang dialami Aksatama Ferhandiola. Karena sebuah keputusan yang terburu-buru, dia haru...