Aksara 14

20 3 0
                                    

New York, USA.

"Disini hanya ada gue dan lo. Gue nggak nyewa pembantu. Jadi jangan manja!" kata Aksa saat baru saja masuk di apartemennya.

"Iya, Sa. Dari dulu juga aku nggak diajarin buat manja, jadi kamu tenang aja."

"Baguslah." serunya. Aksa menarik kopernya menuju kamarnya namun berhenti sejenak dan menoleh kearah Ara. "Seperti biasanya. Lo tidur di kamar lain." titahnya membuat Ara mengangguk patuh.

Ara berjalan menuju pintu bercat putih yang ada di sebelah kamar Aksa. Dia membuka knop pintunya dan mengedarkan matanya menilik seisi kamar itu. Cukup luas. Bahkan sangat luas jika di tempati untuk satu orang saja.

Ara membuka tirai yang menutupi jendela. Seketika ia merasa takjub saat disuguhi pemandangan sore hari di kota New York dari atas ketinggian. Sangat indah dan dia harus mengakui keindahan negeri Paman Sam ini.

Dertt.. Dertt.. Dertt..

Ponselnya berbunyi. Dia segera mengambil benda pipih itu dan tanpa buang waktu lama ia segera mengangkat telfonnya.

"Halo!" sapanya.

"Halo, Ra. Lo udah nyampe?" sahut seorang dari seberang telfon.

"Iya. Ini baru aja aku nyampe. Kalo kamu lagi di mana?"

"Masih di tempat biasa. Gue nggak kemana-mana kok."

"Yaudah. Kamu jaga diri baik-baik!"

"Iya. Lo juga. Jangan lupa janji lo, ya. Inget!"

"Iya. Aku nggak bakal lupa. Semuanya masih aman kok. Kamu tenang aja!" Jawabnya. "Yaudah, aku tutup telfonnya!" Ara mematikan telfonnya lalu meletakkan ponselnya diatas nakas.

"Janji apa?" sahut Aksa yang tiba-tiba ada diambang pintu membuat Ara sontak terkejut dan menoleh. "Lo nelfon sama siapa?" selidiknya.

"Ng..nggak. Aku lagi nelfon sama temen." jawabnya membuat Aksa terdiam. Ara kikuk dan memilin-milin ujung bajunya.

"Oh!" respon Aksa sambil mengangguk. "Yaudah, gue mau ke kantor. Lo jangan kemana-mana."

"Kamu mau ke kantor sekarang?"

"Menurut lo kapan lagi kalo bukan sekarang?"

"Tapi kan kamu baru aja nyampe. Kamu nggak istirahat dulu? Atau mau aku buatkan kopi dulu?" Tawarnya tapi ditolak mentah-mentah oleh Aksa.

"Nggak usah sok baik. Gue nggak butuh. Yang lo harus lakuin sekarang adalah bersih-bersih apartemen. Ngerti?"

"Iya. Aku ngerti kok!"

Aksa mengangguk, "yaudah!"  lalu melenggang pergi dari sana.

****


Sesuai dengan perintah Aksa, sekarang Ara sedang bersih-bersih. Apartemen seluas ini memang butuh tenaga ekstra untuk membersihkannya. Terlebih Ara hanya bekerja sendirian.

Mata Ara sejenal tertuju pada kamar Aksa yang pintunya sedikit terbuka. Dia melihat koper Aksa masih tergeletak di atas lantai dengan pakaian yang tercecer di mana-mana. Ara melangkah masuk ke dalam, niatnya hanya untuk merapikan baju-baju itu.

Setelah Ara masuk kedalam kamar itu, wangi maskulin khas laki-laki itu menyeruak di indera penciumannya. Tanpa butuh waktu lama ia segera jongkok dan merapikan baju-baju milik Aksa lalu ia kemas ke dalam lemari.

Tapi perhatian Ara sejenak teralih pada foto berbingkai kecil yang ada di atas nakas. Dia segera berdiri dan meraih foto itu.

"Adel?!" gumamnya saat melihat foto kembarannya ada dikamar Aksa.

"Ternyata masih sama. Dia masih sayang sama Adel."

"Tapi, dia memang lebih cocok denganmu Del. Dia memang bukan untukku." Ara tersenyum simpul lalu meletakkan foto itu kembali ke atas nakas.

Setelah bergelut dengan pikirannya, dia kembali melanjutkan pekerjaannya. Di sela-sela merapikan kamar Aksa, tiba-tiba pemilik kamar datang dan lagi-lagi mengejutkan Ara.

"Ngapain lo di sini?!" tanyanya bernada tidak suka.

Ara menoleh ke arah Aksa, "eh Aksa. Kok kamu pulangnya cepet banget?"

"Lo belum jawab pertanyaan gue. Lo ngapain di kamar gue?!" ucapnya sudah mulai ketus.

"Aku lagi beresin kamar kamu." ucapnya jujur tapi Aksa tidak suka dengan jawaban pernyataan itu. Aksa sepertinya marah dan melangkah mendekat kearah Ara. Mencengkram pergelangan tangan perempuan itu dengan keras.

"Kuperingatkan sekali lagi, jangan sentuh barang-barang gue dan jangan berani masuk ke kamar gue!" Aksa segera menyeret Ara keluar dan mendorong tubuh perempuan itu tepat di depan kamarnya membuat Ara meringis kesakitan.

"Lo boleh pergi kemanapun yang lo mau. Tapi untuk kamar gue, lo nggak bisa sembarangan masuk. Itu ruangan privasi gue!"

"Privasi karena kamu nggak mau aku tau kalo kamu masih hidup dengan bayang-bayang saudara kembar aku, kan?" tebak Ara lalu ia berdiri dari duduknya. "Jangan malu buat bilang. Jangan terlalu gengsi buat ngaku kalo kenyataannya memang masih menampar kamu kalo ternyata kamu masih berharap sama seseorang yang sudah mati."

Tangan Aksa terkepal kuat dan rahangnya mengeras. "Adel tidak pernah mati!"

"Iya. Memang benar. Adel tidak mati. Dia masih hidup di matamu. Dan itu menjadi kebahagiaanmu, kan?"

"Iya memang. Dia kebahagiaanku. Dulu. Sebelum kau datang dan menghancurkan semuanya."

Ara tersenyum masam, "aku tidak menghancurkan apapun. Tidak. Aku memberikanmu kebebasan bukan? Kamu tidak mencintaiku, tidak masalah. Itu urusanmu. Aku tidak bisa memaksa orang lain buat suka sama aku. Rasa itu tidak bisa di paksa. Dan kamu melakukannya. Kamu memaksa dirimu buat benci sama aku!"

Aksa tertawa sinis dan menatap Ara dengan tajam. "Gue memang benci sama lo. Alasan gue yang pertama, wajah lo mirip dengan Adelku dan gue nggak suka itu. Yang kedua, sikap lo berbeda dengan Adel. Lo naif dan licik!"

"Kamu benci sama aku karena wajah aku mirip sama Adel, kan? Coba kamu pikir, seharusnya kamu itu suka sama aku. Aku adalah Adel yang hidup di tubuh Ara. Aku dan Adel adalah dua orang yang sama. Tapi kamu menolak mengakui kalau aku adalah kembaran Adel. Itu yang menjadi masalahmu."

"Itu sama sekali bukan masalahku. Masalahnya itu ada di elo. Lo yang datang di hidup gue dan nyiptain masalah buat gue!"

"Sebenarnya aku dan kamu saling membutuhkan, Sa. Tapi kamu terlalu keras kepala. Cukup kamu tenang dan jangan banyak ngeluh selama kamu masih punya hubungan sama aku. Itu doang yang aku mau." Ucapnya. Emosi Ara sudah tidak bisa ia kontrol penuh. " Tapi apa? Kamu mancing aku trus buat debat. Dan aku nggak sesabar itu. Aku bukan orang penyabar, jadi plis jangan nguji aku, Sa. Gue janji, gue bakal ngasih kamu kebahagiaan yang lo mau. Tapi pliss. Lo harus bisa nunggu! Nunggu aku selesein semuanya dulu." tambahnya.

"Halah. Lo modal omong doang!" Aksa sudah tidak tahan lagi berhadapan dengan Ara. Dia pergi begitu saja meninggalkan Ara di sana. Sedangkan Ara, perempuan itu tengah mengatur napasnya dan menahan diri untuk tidak berteriak frustasi sekarang.

Ara tidak seperti ini. Tapi keadaan yang memaksanya untuk mengubah sikap. Percayalah, Ara bukan tipe orang yang banyak diam. Tidak. Itu bukan Ara. Tapi sekali lagi, keadaan memaksanya untuk berubah.







To be Continue

AKSARA [Biarkan Aku Memilih]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang