Aksara 33

54 3 1
                                    

Suara tawa riang anak-anak terdengar di sepanjang jalan yang Ara telusuri. Tawa anak-anak yang terlantar akibat keegoisan orang tuanya. Tidak ada raut kekecewaan di wajah anak-anak tak berdosa itu. Ia hanya tahu bermain. Bermain. Dan bermain. Ia sangat lugu dan polos. Mereka masih terlalu dini untuk bertanya, dimana orang tuaku pergi?

Ara dituntun menuju sebuah kamar yang pintunya selalu terkunci rapat. Penghuni kamar itu hampir tidak pernah bersosialisasi di lingkungan luar. Hanya ada tiga waktu yang membuat pintu itu terbuka. Waktu dimana si pemilik kamar meminta makanan. Waktu dimana si pemilik kamar membutuhkan bantuan. Dan waktu dimana si pemilik kamar mendapat kunjungan dari wanita bernama Arania Amanda.

Hanya itu saja. Selebihnya, ia terlalu terisolasi.

"Kamar yang dulu sedang di renovasi jadi untuk sementara dia di pindahkan di kamar ini." Seru wanita bernama Wiranti itu. Ara hanya ber-oh ria, "Saya tinggal dulu."

Sepeninggal Wiranti, Ara kemudian mengetuk pintu itu dengan pelan.

"Siapa?" Sahut seseorang yang ada di dalam kamar itu. Ara tidak menyahut dan mengetuk pintu itu lagi.

"Siapa?" Sahutnya lagi.

"Ini aku."

Begitu Ara membuka suara, pintu itu tiba-tiba terbuka. Ara tersenyum senang begitu juga wanita yang sedang duduk di kursi roda itu.

"Ara!" Mata gadis itu berbinar dan segera merentangkan tangannya. Ara membalas pelukannya dengan hangat dan mereka berpelukan sangat lama. "Kenapa kamu baru datang?" Tanyanya sembari mengurai pelukannya.

"Kita bicara di dalam, oke?" Ara mendorong kursi roda gadis itu masuk ke dalam kamarnya lalu mengunci pintu.

Ara duduk di sisi tempat tidur dan berhadapan dengan gadis itu. Rasanya Ara seperti sedang berkaca pada cermin.

"Kamu kok kurusan?" Tanyanya saat melihat tubuh wanita itu sedikit kurang berisi.

"Aku banyak pikiran. Sejak kamu ngasih tau aku kalo Aksa kecelakaan, aku khawatir sama dia. Tiap malem aku nggak bisa tidur. Makan pun nggak teratur." Eluhnya.

"Tapi dia baik-baik aja kok. Kamu tenang aja."

"Dia nggak pernah baik-baik aja, Ra. Aku tau Aksa itu nggak pernah baik-baik aja tanpa aku. Dia pasti selalu memikirkan aku, kan? Dia pasti selalu cerita sama kamu."

"Iya. Dia selalu memikirkanmu. Tiap hari. Tiap tidur. Bahkan ketika dia sakit pun hanya kamu yang ada di otaknya. Dia masih milikmu, Del." Ucap Ara yang terasa seperti mengiris hatinya sendiri. Entah mengapa ia begitu sakit mengucapkan kata-kata itu.

"Aksa memang selalu jadi milikku. Dia mencintaiku lebih dari aku mencintainya. Bahkan ketika orang-orang menganggap aku itu udah mati, hanya dia yang menganggap aku masih hidup."

"Kalau kamu berkeyakinan seperti itu, kenapa kamu tidak menemuinya dan mengatakan bahwa aku masih hidup? Kenapa malah mendukungku untuk menikah dengannya?"

Adel tersenyum sumbang lalu menatap ke luar jendela, "Itu karena aku ingin kamu yang menjaganya. Karena aku tau, dia tidak akan mencintaimu. Dan kau pun tidak akan berniat mencintainya. Jadi aku mendukungmu. Jika waktu yang kutunggu itu tiba, aku akan kembali padanya."

"Tapi jika yang terjadi malah sebaliknya, kamu mau apa?"

Adel menatap Ara dengan raut wajah yang tajam. Dia tidak suka dengan apa yang Ara katakan. Sebaliknya? Apa maksudnya? Mereka akan saling mencintai? Ah tidak mungkin.

"Apa maksudmu?" Ujarnya tidak suka.

"Aku tidak bermaksud apa-apa." Timpalnya. "Aku hanya berpesan, jangan menggali terlalu dalam. Di sana gelap. Kamu tidak pernah tau apa yang akan terjadi di dalam sana. Aku hanya takut jika emas yang kamu cari malah lumpur yang kamu dapat."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 21, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AKSARA [Biarkan Aku Memilih]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang