Setelah dirawat kurang lebih satu Minggu akhirnya Aksa diperbolehkan untuk pulang. Aksa memasuki apartemen mewahnya ditemani Ara dan Cila. Senyumnya merekah karena akhirnya ia terbebas setelah sekian lama ia berada di ruangan dengan bau obat-obatan yang menyengat. Sungguh, Aksa sangat tidak betah berada di rumah sakit itu.
Aksa, laki-laki mendaratkan bokongnya di atas sofa. Dia duduk bersama dengan Cila, Hans serta Ara. Sedangkan Abar katanya sudah kembali ke Indonesia. Ah, Sayang sekali padahal Aksa sudah menyiapkan tenaganya untuk menghajar wajah busuknya itu.
"Aksa, papa pengen kamu berhenti bekerja di perusahaanmu. Dan papa sudah mengurus surat pengunduran dirimu." Sahut Abar membuat Aksa menoleh seketika.
"Maksud papa?" Sahutnya sedikit terkejut.
"Berhenti bekerja di negeri orang dan kembalilah ke Indonesia, Aksa. Sudah cukup kamu mengabdi disini."
"Tapi kenapa tiba-tiba begini pah? Kenapa papa nggak ngomong dulu sama aku."
"Papa nggak ngomong sama kamu karena papa tau kalo kamu pasti menolak."
"Aku masih pengen di sini. Ini semua Aksa lakuin buat kalian."
"Percuma kamu bergelimang harta kalo waktu kamu kurang buat keluarga. Kamu kerja. Kerja. Dan kerja." Protes Hans. "Papa mau kamu punya waktu lebih buat papa dan mama. Papa dan mama sudah tua, Sa. Kapan kamu luangin waktu? Tunggu kami mati dulu baru menyesal?"
"Hans, jangan terlalu keras pada Aksa. Dia baru saja sembuh!" Ucap Cila membela Aksa.
"Biarkan saja. Jangan membelanya, Cila. Biar dia tau diri. Dia terlalu mementingkan pekerjaan dibandingkan orang tua. Padahal jika anak itu mau, aku bisa berhenti bekerja dan memberikan perusahaanku padanya. Tapi anak itu? Ck. Keras kepala sekali."
Aksa hanya terdiam. Dia tidak berani bersuara lagi. Berdebat dengan orang tua rasanya segan, ia takut kualat karena melawan orang tua.
"Aku ke kamar dulu." Ucap Aksa memilih pergi dari sana daripada ia berbicara dan melukai hati malaikatnya itu.
Aksa duduk di tepian ranjang sambil memijit kepalanya yang tiba-tiba sakit. Entah kenapa tiba-tiba saja masalah yang akhir-akhir ini menimpanya berkelebat bebas di pikirannya. Dia menghela napas pelan sampai sentuhan di pundaknya membuat perhatiannya teralih.
"Kamu kenapa?" Tanyanya lembut.
"Nggak, cuma agak pusing aja."
Ara hanya ber-oh ria lalu meletakkan tas berisi pakaian Aksa di samping nakas. "Kamu butuh sesuatu?"
Aksa menggeleng pelan membuat Ara tersenyum. Dia hendak pergi namun tangan kekar milik Aksa menahan tangannya. Ara menoleh dan menatap Aksa bingung.
"Lo disini aja temenin gue." Gumam Aksa lalu menarik tangan Ara agar duduk. Aksa membaringkan kepalanya di atas paha Ara lalu menutup matanya. "Sebentar aja kok." Ucapnya lagi.
Ara merekahkan senyumnya dan mengusap kepala Aksa sayang. Elusan lembut itu berhasil menciptakan rasa nyaman di dalam diri Aksa.
"Ra.." panggil Aksa.
"Iya, Sa?"
"Menurut lo, gue tetep di sini atau balik ke Indonesia?"
"Lho? Kok nanya-nya sama aku?"
"Gue bingung, Ra. Gue nyaman tinggal di sini tapi gue juga nggak tega kalo ngeliat mama sama papa kehilangan sosok gue."
"Orang tua nggak selamanya hidup, Sa. Apa salahnya kalo kita nyenengin dia selagi dia masih ada. Bener kata papa kamu. Kita baru akan menyesal kalo orang itu udah nggak ada."
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARA [Biarkan Aku Memilih]
Teen FictionBagaimana sensasinya jika kamu dijodohkan oleh saudara tunanganmu? Kira-kira bagaimana caramu mengekspresikannya? Marahkah? Kesalkah? Atau malah biasa aja? Itulah yang dialami Aksatama Ferhandiola. Karena sebuah keputusan yang terburu-buru, dia haru...