Ada perasaan lega sekaligus senang melihat Aksa sudah melewati masa-masa menakutkan itu. Melihat laki-laki itu sudah membaik cukup membuat Ara bahagia. Ara tidak henti-hentinya menatap Aksa yang sedang memainkan ponsel miliknya. Entahlah, Ara sangat takut jika benar Aksa pergi darinya. Tapi keberuntungan itu masih berpihak padanya. Aksa, dia masih bisa bernapas sekarang. Ara sangat berterima kasih pada pencipta. Sungguh, Ara tidak meminta lebih. Ara hanya ingin melihat Aksa baik-baik saja.
"Sa, yakin nggak apa-apa?" Pertanyaan itu sudah terlontar puluhan kali dari mulut Ara. Gadis itu ingin memastikan jika Aksa benar-benar baik-baik saja.
Aksa berdecak mendengar pertanyaan itu. Dia memutar bola matanya dongkol, "Lo nggak bosen nanya itu mulu? Lo bisa liat keadaan gue, kan? Apa belum cukup buat jawab pertanyaan lo?"
"Iy.. iya. Tapi siapa tau--kan ada yang sakit atau apa gitu biar aku bisa manggil dokter buat periksa keadaan kamu."
"Gue nggak apa-apa, Ra. Udah deh nggak usah khawatirin gue mulu. Mending khawatirin diri lo sendiri. Lo peduli sama orang lain tapi lo nggak pernah peduli sama diri lo sendiri."
Jleb.
Perkataan Aksa tepat pada sasaran. Ara dibuat bungkam dengan kata-kata itu. Dan memang benar, Ara selalu peduli pada orang lain dibandingkan dirinya sendiri. Ara hanya tidak mau orang lain merasakan seperti apa yang dia rasakan. Tidak di pedulikan dan bahkan tidak pernah dianggap ada."Ra!" Panggil Aksa membuat lamunan Ara buyar.
"Eh, iy.. iya?"
"Jangan mikir yang nggak-nggak. Gue minta maaf."
"Minta maaf? Untuk apa, Sa?"
"Lo diem pas gue selesai ngomong berarti ada yang salah dengan perkataan gue."
Ara menggeleng dengan cepat, "Kata siapa? Kamu nggak salah kok, Sa. Lagian aku juga nggak mikir yang nggak-nggak."
Aksa menaikkan kedua alisnya saat mendengar penuturan gadis itu lalu semenit kemudian dia mengangguk, "Baguslah!"
Pintu ruangan tiba-tiba terbuka menampilkan dua pasangan paruh baya yang berhasil mengambil alih perhatian Aksa dan Ara. Aksa terkejut dengan kehadiran mereka sementara Ara tidak sebab ia sudah tahu jika mereka memang akan kemari.
"Mama! Papa!" Seru Aksa. Cila dan Hans segera menghampiri mereka dengan raut wajah yang tidak bisa disembunyikan lagi. Kedua manusia setengah baya itu terlihat khawatir sekali.
"Bagaimana, sayang? Kamu nggak apa-apa kan? Apanya yang sakit?" Kata Cila cemas sambil memeriksa tubuh Aksa.
"Aksa nggak apa-apa mah. Aksa baik-baik aja kok!" Ucapnya menyakinkan. "Tapi kenapa kalian tiba-tiba ada di sini sih?"
"Ish kamu ini. Kamu nggak suka kalo mama sama papa jengukin kamu?"
"Bukan kayak gitu tapi kalian datangnya tiba-tiba banget. Aksa kaget loh ini."
Cila berdecak, "Mama lebih-lebih kaget saat dengar kabar kamu. Mama hampir jantungan tau nggak."
"Gitu aja kok sampe mau jantungan. Lebay banget deh, iya kan Pa?" Katanya sambil menatap Hans yang ada di belakang Cila.
"Kali ini mamamu nggak lebay, Aksa. Ini masalah nyawa lho. Siapa yang nggak kaget pas dapet kabar kalo anaknya hampir mati. Papa aja kaget bukan main, Sa."
"Tapi untunglah anak mama baik-baik aja. Mama bersyukur banget!" Cila mencium kening Aksa sayang.
Ara yang melihat adegan manis keluarga itu hanya bisa tersenyum. Entah ada perasaan senang sekaligus nyeri di hatinya. Ia juga ingin seperti Aksa. Dikelilingi oleh orang tua yang sayang padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARA [Biarkan Aku Memilih]
Teen FictionBagaimana sensasinya jika kamu dijodohkan oleh saudara tunanganmu? Kira-kira bagaimana caramu mengekspresikannya? Marahkah? Kesalkah? Atau malah biasa aja? Itulah yang dialami Aksatama Ferhandiola. Karena sebuah keputusan yang terburu-buru, dia haru...