Sang mentari mulai menampakkan sinarnya di hari minggu pagi. Tidak seperti biasanya, jalanan kota kecil yang berada di provinsi Lampung itu tampak lenggang. Biasanya jalanan pada pagi hari sangat padat sampai-sampai pejalan kaki tidak bisa menyebrang.
Hari minggu adalah adalah waktu yang pas untuk bersantai. Banyak remaja yang menghabiskan hari minggunya untuk bercakap-cakap dengan teman-teman dengan jalan-jalan di mall atau nongkrong-nongkrong di cafe.
Tidak seperti remaja kebanyakan, setelah membersihkan rumah dan mecuci bajunya yang belum ia cuci selama seminggu, Nabila mengurung dirinya di kamar. Salah satu hobinya selain menonton film adalah bermain game online. Ia selalu memainkan game online yang sedang in.
Menurutnya dengan bermain game, dia bisa menyalurkan emosi negatifnya dengan menembaki musuhnya dan menang.
Di dunia nyata mungkin Nabila pencundang, namun di dunia game di selalu bisa menjadi pemenang. Di dunia nyata mungkin Nabila tidak memiliki uang. Namun di dunia game ia memiliki banyak uang dan berlian. Karakternya di dunia game termasuk sultan. Intinya di dalam game ia bisa melakukan hal-hal yang tidak bisa ia lakukan di dunia nyata.
Di kamarnya Nabila bermain game Free Fire. Game yang trending ketika PUBG bisa dimainkan di smartphone. Bisa dibilang Free Fire merupakan versi mini dari PUBG.
Nabila memilih bermain duo karena dia bosan bermain solo yang berjuang sendiri dan tidak ada yang bisa diajak bicara. Dia memilih random match.
Setelah terhubung Nabila langsung mengetes, "Halo..."
"Hai." Terdapat suara cowok di seberang sana.
"Kita mau turun di mana ni. Gue si sukanya main bar-bar," ucap Nabila dengan santai.
"Gue masih noob. Males kalo langsung mati."
"Aelah mati ya main lagi. ribet ah," decak Nabila meremehkan.
"Males gue mengulang-ulang kesalahan. Enggak pernah booyah masa."
Biasanya Nabila mendapat pasangan yang genit ketika mengetahui Nabila cewek. Mereka akan menanyakan informasi-informasi pribadi. Bahkan penah ada yang menanyakan ukuran BH-nya.
Berbeda dengan kali ini Nabila mendapat pasangan yang lempeng-lempeng saja. Tiba-tiba saja Nabila tersenyum sendiri. Dia memiliki ide.
"Tenang, kan ada aku. Pasti booyah ntar kita." Kali ini Nabila memakai aku-kamu dan berusaha membuat suara yang imut seperti Kimi Hime. Semoga saja suaranya tidak terdengar amit-amit.
"Kita turun di Sentosa aja," usul cowok itu.
"Oke."
Setelah turun di pulau Sentosa. Karakter mereka langsung mengambil barang-barang yang ada di sana, seperti panci, laras panjang, shotgun, vest, dan lain-lain.
"Ih aku belum dapet glow wall."
"Gue ada kok," ucap cowok itu.
"Nah gitu dong. Selalu punya apa pun yang dibutuhin sama cewek."
"Aku mau curhat ni. Mau dengerin nggak?" tanya Nabila ketika dia berhasil menembak musuh dengan dua kali tembakan hingga headshot.
"Cerita aja asal kita jangan sampe mati."
"Jadi gini, aku baru aja jadi murid SMK tapi aku enggak minat sama pelajarannya dan impianku juga bukan menjadi petugas administrasi. Aku masuk SMK karena nilai ujianku enggak nyukup buat masuk SMA." Nabila mengambil jeda ketika karakter mereka berdua menaiki mobil untuk meninggalkan pulau Sentosa.
Kemudia Nabila meneruskan Curhatannya, "Aku dulu waktu UN enggak make kunci jawaban karena kau pikir aku mampu ngerjain dengan lancar, tapi dugaanku salah. Aku belum maksimal dalam belajar dan hampir semua pelajar SMP di kotaku yang ikut ujian pake kunci jawaban sehingga nilai mereka gede-gede. Sedangkan nilaiku kecil karena murni hasil dari ngerjain sendiri. Jadi dengan terpaksa masuk SMK."
Dikarenakan karakter mereka berada di jarak aman, maka jarang sekali mereka bertemu musuh.
"Lebih dari satu minggu setelah mengetahui NEM-ku rendah aku langsung merasa worthless, enggak berguna, dan malu. Dulunya aku yang selalu ranking 1 di kelas punya cita-cita masuk SMA favorit tiba-tiba masuk SMK yang enggak pernah sekali pun ada di pikiranku kalo aku bakal masuk SMK.
"Teman-temanku menaruh ekspetasi tinggi terhadapku, yang menganggap aku serba bisa dan pintar. Dan menduga pasti bisa masuk SMA mana aja. Tapi ternyata ekspetasi mereka terlalu jauh. Dengan sombongnya aku percaya diri bahwa aku pintar, bahwa aku sudah menguasai materi. Padahal aku Cuma rajin belajar dan enggak tahu apa-apa tentang dunia."
Cowok itu berhasil menembak satu musuh. Nabila tidak peduli cowok itu mendengarkan atau tidak. yang penting dia bisa bicara uneg-unegnya selama ini. Ia tidak bisa memperayai seseorang walaupun itu teman dekatnya. Ia lebih suka menjadi pendengar.
Sudah dua minggu ini dia sudah muak dengan pelajaran di SMK. Di sana tidak belajar IPA. Padahal IPA adalah pelajaran terfavorit Nabila. Saat ini ia perlu menumpahkan energi negatifnya kepada orang asing karena mereka tidak tahu siapa sebenarnya Nabila kan.
Ketika cowok di seberang sana tidak menanggapi. Nabila terus berbicara.
"Aku merasa dunia ini tu enggak adil. Aku yang rajin belajar, yang mengurangi waktu tidur untuk belajar ternyata gagal masuk SMA. Sedangkan mereka yang tidak sama sekali belajar malah bisa masuk SMA favorit dengan mengandalkan kunci jawaban. Coba saja seandainya kunci jawaban pada waktu itu enggak bocor. Pasti aku bisa masuk SMA terbaik di kotaku. " Nabila menghela nafas ketika menyadari hidupnya tidak bisa berjalan sesuai dengan kehendaknya.
"Menurut gue konsep adil atau enggak adil itu Cuma buatan manusia. Sedangkan alam semesta berjalan sesuai dengan hukum alam. Hukum rimba salah satunya. Siapa yang terkuat dia bisa menang, tidak memandang moral. Jadi mau enggak mau lo harus terbiasa dengan hidup yang enggak adil," ujar cowok itu akhirnya bersuara.
Tidak pernah sekali pun Nabila memikirkan hal itu. hal mengenai konsep adil dan tidak adil.
"Aku minta nomor WA kamu dong," uangkap Nabila memberanikan diri. Tidak pernah ia bertemu dengan cowok yang memiliki pemikiran yang begitu dalam. Ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Nabila pun meraih buku dan pulpen.
"Tulis ya. 0812 6368 4481."
"Oke."
"Ya mati kan." Karakter mereka berdua mati ketika tersisa sepuluh orang yang masih hidup. Sambungan mereka pun terputus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Nabila
Teen FictionNabila, gadis lugu yang memandang dunia ini dengan optimisme terjebak dengan ekspetasinya sendiri. Di umurnya yang belum genap tujuh belas tahun, ia harus menelan pahitnya kegagalan hidup, mulai dari kegagalan cinta, sekolah, dan juga keluarga.