Sore itu sang surya telah terbenam, tergantikan senja kala yang memberikan guratan warna merah pada langit.
"Kamu enggak dimarahin karena pulang telat?" Rehan melihat ke arah Nabila dengan sorot mata yang khawatir.
"Bapak sama Ibu udah percaya sama aku kok Kak. Pernah sekali aku pulang jam sebelas malam karena main sama temenku. Tapi aku enggak dimarahin. Bahkan enggak ditanyain." Ada nada sedih saat Nabila mengungkapkan kalimat tersebut namun tidak disadari oleh Rehan.
Cowok itu melipat kedua tangannya di belakang kepala lalu menyender ke bangku taman.
"Syukur deh. Sampe malam aja ya. kamu kalau ada PR tanya sama saya aja." Tidak mungkin Rehan bisa membantu Nabila mengerjakan PR. Dia saja tidak pernah mengerjakannya. Mungkin saja dikerjakan apabila mendapat sontekan atau guru yang memberikan PR adalah guru killer.
"Ahaha enggak ada Kak."
"Yaudah nikmatin senja aja."
Guratan merah pada langit secara perlahan mulai menghilang yang tergantikan dengan langit gelap. Lampu-lampu taman mulai dihidupkan. Sepenuhnya danau itu tidak menyeramkan. Malah indah ketika malam tiba.
Rehan akhirnya memutuskan pulang ketika jam di pergelangan tangannya menunjukan angka tujuh. Jawaban Nabila hanya anggukan.
***
Saat menginjakkan kaki di dalam rumahnya, Nabila menemukan Ibunya sedang menonton acara televisi seperti biasa. Sedangkan bapak sedang membaca Al-quran di ruang tamu karena lampu yang terang.
"Kok pulang malem, Dek?" saat itu Ibu melihat ke arahnya yang baru saja selesai mandi.
"Iya tadi ngerjain tugas di rumah temen." Nabila tidak berani melihat ke arah mata Ibu.
"Owh." Lalu fokus Ibu kembali ke layar televisi.
Sebenarnya Nabila tidak keberatan apabila orang tuanya mempercayainya dan tidak pernah mengkhawatirkannya. Tapi karena terlalu mempercayainya, Nabila merasa tidak diperhatikan dan diperdulikan apakah dia bohong atau tidak. Bahkan mereka tidak mau repot-repot untuk mengulik lebih lanjut pernyataan Nabila.
Tatkala membuka tudung saji, Nabila hanya mendapati nasi dengan sayur oseng oyong. Santapan yang tidak disukainya. Berulang kali Nabila mengatakan kalau ia tidak doyan sayur oyong. Biarpun diiris bentuk apapun atau dimasak dengan gaya yang berbeda, ia tidak akan doyan. Kendati demikian, Ibunya tidak mengindahkannya dan tetap memasak sayur oyong. Hal itu terjadi karena Bapak yang menanam sayur oyong di samping rumah. Sehingga Ibu memasak sayur tersebut.
Akhrinya ia memilih membeli mie instant di Indomart saja dan akan memakannya di sana.
Di bawah pohon palem tepi jalan terlihat Dani yang sedang berjongkok seperti mencari sesuatu yang hilang.
"Oi! Cari apa?" Nabila menghampiri ke arah pohon palem tersebut.
"Rachel." Dani tetap saja mencari di bawah semak-semak sambil berjalan jongkok tanpa memperdulikan Nabila yang mengikutinya.
"Ha?"
"Kucing gue."
"Owh." Nabila mengangguk-angguk mengerti. Terdengar suara ponsel berbunyi. Lantas diangkat oleh Dani.
"Iya Mi. Oh iya.... oke." Dani kembali menyimpan ponselnya ke kantong depan celana.
"Rachel udah ketemu."
"Yaudah. Gue mau ke Indomart," ujar Nabila tatkala Dani hanya berdiri diam saja. Cowok itu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Gue ikut."
Sepanjang perjalanan, mereka diam dan tidak berusaha mencari bahan obrolan ataupun sekedar memulai. Namun, anehnya Nabila tidak merasa canggung sama sekali. Biasanya dia akan berusaha mencari bahan obrolan karena ia tipe orang yang tidak nyaman dengan diam.
Aroma mie instan mengua rbegitu saja di udara malam. Nabila memejamkan mata ketika menghirup aroma tersebut.
Dani tersenyum kecil melihat pemandangan di depan matanya.
"Gue suka dua aroma di dunia ini." Dikarenakan mie di tangannya panas, Nabila memutuskan untuk meletakkannya di meja. Gadis itu memajukan kursinya.
"Yang pertama, gue suka aroma mie kuah yang lagi panas. Apalagi kalo ditambah Bon cabe. Beuh."
Dani memperbaiki letak kacamatanya ketika menyimak ocehan cewek di depannya itu.
"Yang kedua aroma tanah setelah hujan. Apalagi ketika gue enggak make sandal terus jalan di tanah itu. Rasanya tuh nano-nano gitu," lanjut Nabila lalu memakan mie instant dengan lahap yang diikuti oleh Dani.
Letak Indomart itu berasa di jalan kedua, bukan jalan utama sehingga tidak ramai. Tempat duduk yang disediakan di depan pun jarang ada yang menempati.
Gadis itu mencomot sosi yang dibeli oleh Dani.
"Kalo gue si suka aromanya Thea," tutur Dani tak acuh seraya menyeruput kuah mie. Sementara gadis di depannya itu sudah menghabiskan mie tanpa sisa setetes pun.
"Siapa tu Thea?" kali ini ia mencomot keripik singkong yang juga dibeli oleh Dani.
"Cewek gue."
Seketika kunyahan Nabila berhenti. Ia mengerutkan keningnya. "Seriusan?"
"Ah elah. Lo kok kayak ngeremehin gue banget si."
"Ya abisnya lo kayak enggak punya cewek. Ngapain juga waktu itu lo mau dengerin curhatan gue dan sekarang kenapa lo ngekor gue ke sini."
Iphone milik Dani berbunyi yang sebelumnya ia letakkan di meja. Dalam seperkian detik, ia langsung mengangkatnya. "Iya Pooh Bear. Kenapa?" Tanpa repot-repot menjauh dari Nabila, Dani melanjutkan obrolanya di telepon seolah-olah Nabila tidak ada di depannya.
"Buahahah Pooh Bear." Sontak Nabila tertawa ketika Dani menyebut si penelepon Pooh Bear.
"Gue cabut dulu ya. cewek gue minta dijemput." Tanpa persetujuan Nabila, cowok itu melesat pergi sambil berlari yang meninggalkan Nabila sendirian. Sudah dua kali ini Dani meninggalakannya di tempat yang sama.
Setelah tertawa moodnya langsung buruk ketika megetahui Dani sudah memiliki kekasih. Dugaannya salah. Ia pun termenung melihat banyak makanan di depan matanya yang sebelumnya dibeli oleh Dani.
"Tajir amat dah tuh cowok," gumam Nabila seraya mengambil biskuit keju.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Nabila
Teen FictionNabila, gadis lugu yang memandang dunia ini dengan optimisme terjebak dengan ekspetasinya sendiri. Di umurnya yang belum genap tujuh belas tahun, ia harus menelan pahitnya kegagalan hidup, mulai dari kegagalan cinta, sekolah, dan juga keluarga.