"Lo kenapa si desperate banget pengen ketemu gue." Dani menurunkan standar motor lalu melepas helmnya. Padahal jarak rumahnya dengan taman tidak jauh. Namun, karena khawatir dengan keadaaan emosional Nabila, ia memutuskan mengunakan motornya.
Cowok berkacamata itu duduk di ayunan samping Nabila. Rasanya aneh duduk di ayunan yang biasanya dipakai oleh anak kecil atau cewek. Ia hanya duduk tapi tidak diayunkan.
"Gue benci sama orang yang punya anak. Tapi enggak punya perencanaan untuk masa depan anaknya. Mereka ngotot pengen punya anak tapi enggak mikirin hak yang seharusnya di dapat oleh anak." Ayunan yang dipakai Nabila masih tetap bergerak konstan.
"Contoh nyatanya ya orang tua gue. Mereka sama sekali enggak ada perencanaan buat masa depan gue maupun kakak gue. Mereka enggak punya tabungan buat pendidikan. Bahkan biaya sekolah gue dianggap beban hidup yang harus segera diakhiri." Nabila menghela napas panjang. Lalu menghentikan ayunannya.
Tatkala melihat Dani yang masih diam, Nabila bertanya kepadanya, "Orang tua lo pasti udah mempersiapkan semuanya buat masa depan lo ya?"
Dani terdiam, tertegun sejenak oleh pertanyaan Nabila sebelum melanjutkan, "Mereka udah mulai nabung buat pendidikan gue sebelum gue lahir. Papa memang perencana yang baik, semuanya dia rencanain matang-matang sebelum membuat keputusan, termasuk hidup gue."
Terdengar suara tawa dua anak kecil yang berlari-lari memutari taman kecil itu. tawa mereka seolah-olah mengisyaratkan bahwa mereka adalah orang yang paling bahagia di dunia, yang belum memiliki masalah, yang belum menyadari betapa kejamnya dunia yang mereka tinggali.
Saat kecil dulu, Nabila ingin cepat besar dan menjadi orang dewasa. Ia benci ketika Ibu melarangnya melakukan banyak hal ketika ia kecil dulu, misalnya ia tidak boleh bermian di tengah hujan.
Dalam pikiran Nabila kecil, ketika dewasa nanti ia bisa melakukan hal sesukanya tanpa ada larangan dari orang lain. Namun, saat melewati masa remaja ini, kehidupan orang dewasa menakutinya. Ketika dewasa masalah yang dihadapi datang silih berganti, waktu kecil tidak pernah terpikirkn bahwa orang dewasa sebenarnya memiliki berjuta masalah hidup. Setiap harinya, orang dewasa memikirkan cara memecahkan masalah yang terus dihadapinya. Ketika masalah satu selesai, lalu masalah lain datang. Nabila belum siap beranjak dewasa. Ia ingin menjadi anak kecil lahi yang mana di dalam pikirannya hanya bermain saja.
"Gue enggak dibolehin kuliah sama Ibu gue," tutur Nabila akhirnya. Dani masih diam mendengarkan Nabil. Di balik kacamatanya itu, Dani menatap Nabila yang masih menampilkan ekspresi sendu.
"Padahal dari dulu gue pengen jadi teknisi. Waktu SMP gue fokus belajar sampe-sampe gue enggak punya temen. Yah punya si, Cuma satu orang saja. Eh, akhirnya gue nyasar ke SMK. Terus keluarga gue nyuruh gue kerja daripada kuliah. Rasanya tuh kerja keras gue sia-sia." Nabila diam, tidak ingin melanjutkan cerita mengenai realita hidupnya yang jauh dari ekpetasinya dulu ketika ia masih naif.
"Work hard doesn't always work. Menurut gue lo harus ngerti bahwa di dunia ini ada hal-hal yang bisa lo kendaliin dan ada hal yang berada di luar kendali lo. Boncornya kunci jawaban UN SMP dulu dan kehendak orang tua lo itu berada di luar kendali lo. Dan yang berada di dalam kendali lo adalah sikap lo dalam menghadapai kejadian yang berada di luar kendali." Dani menghela napas. Ternyata ada manfaat lebih ia membaca buku-buku pengembangan diri milik Papa.
"Saran dari gue si mulai dari sekarang lo cari kerja sambilan buat tabungan kuliah nanti. Ada banyak beasiswa di luar sana. Walaupun orang tua lo enggak pengen lo kuliah, tapi coba deh ngomong baik-baik sama mereka. Pasti mereka ngizinin lo kuliah. Dan gue yakin lo bisa kuliah tanpa dibantu finansial oleh orang tua."
Nabila masih diam mencoba mencerna perkataan Dani. "Biasanya orang-orang bakal ngomong yang sabar ya atau keep fighting terus berdoa kepada Tuhan ketika gue cerit amasalah hidup gue. Cuma lo yang bisa bales panjang lebar dan masuk akal." Nabila menatap mata Dani. Baru ia sadari manik mata Dani berwarna coklat. Selama ini tak disadarinya karena tertutup lensa kacamata tebal.
Sementara itu, dani hanya tersenyum kecil lalu menjawab,"Yah...mereka mungkin bingung mau merespon gimana."
Dani beranjak dari ayunannya lalu berdiri di depan Nabila dengan jarak satu meter memainkan bola kasti di tangannya. Ia memperlihatkan bola kasti itu kepada Nabila. Kemudian melemparkannya ke Nabila. Gadis itu belum siap sehingga tidak berhasil menangkapnya.
Ketika bola kecil itu mendarat di telapak tangan Dani setelah dilempar oleh Nabila, cowok itu berkata dengan bijaksana, "Hidup itu kayak nangkep dan lempar bola."
Tatkala ia sudah melempar bola ke Nabila yang berhasil ia tangkap dengan baik, Dani melanjutkan,"Ketika berhasil nangkep bola, itu adalah kesempatan dalam hidup lo. Tapi ketika lo enggak berhasil nangkep bola berarti lo dapet masalah. Tapi akhirnya lo bisa ngambil bola yang jatuh itu lalu lemparin ke orang lain."
Nabila tertawa mendengar penjalasan cowok itu. Berbeda dengan ekspetasi Nabila. "Hahah.....maksa lo. Enggak nyambung." Nabila berhenti tertawa lalu melemparkan bola ke Dani.
Cowok berkacamata itu menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal setelah berhasil menangkap bola.
"Nabila!," teriak seorang cowok yang membawa beberapa balon merah dan sebuah kotak kardus kecil berpita.
Yang dipanggil pun terkejut ketika melihat Rehan dengan muka masam menghampirinya.
"Kakak ngapain?" tanya Nabila tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Menghiraukan pertanyaan Nabila, Rehan malah berkata,"Ini balon sama coklat buat kamu." Lalu ia serahkan balon merah berjumlah sepuluh buah itu ke tangan Nabila. Begitu pula dengan kardus kecil yang berisi coklat. Nabilamengerutkan keningnya ketika mendapat benda itu. Seingatnya ia tidak pernah meminta atau mengkode Rehan untuk membelikannya sesuatu.
"Siapa dia?" tanya Rehan menatap cowok berkacamata yang berdiri sembari memegang bola kasti.
Nabila berdiri dari ayunannya. "Dia Dani. Tetanggku dan dulu pernah satu SMP."
"Dan, ini kenalin Rehan. Emmm..... pac, eh kakak kelasku," ucap Nabila bingung dengan dirinya sendiri. Tentu saja hubungan mereka masih kakak dan adik kelas dan tidak berstatus. Kenapa ia hampir menyebutkan kata pacar tadi. Padahal, dia kan yang meminta waktu untuk memantapkan hatinya. Ia merutuki dirinya dalam hati.
Dani mengerutkan keningnya ketika mendengar kejanggalan tadi. Namun ia segera paham.
"Maksudnya calon pacar. Eh, bisa jadi calon suami," sambung Rehan dengan percaya diri. Jujur saja, ia merasa tersaingi dengan cowok di depannya itu. ia akui bahwa Dani good looking dan berhasil membuat Nabila tertawa. Ia melihatnya di dalam mobil tadi. Padahal sulit sekali membuat Nabila tertawa. Bisa dihitung jari Rehan berhasil membuatnya tertawa dengan candaannya yang garing.
"Gue pulang duluan Nab," Tutur Dani pergi menghampiri motornya.
"Thanks ya Dan." Cowok itu sudah mulai menyalakan motornya tanpa melihat ke arahnya.
Sementara itu Rehan menatap Nabila dengan curiga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Nabila
Teen FictionNabila, gadis lugu yang memandang dunia ini dengan optimisme terjebak dengan ekspetasinya sendiri. Di umurnya yang belum genap tujuh belas tahun, ia harus menelan pahitnya kegagalan hidup, mulai dari kegagalan cinta, sekolah, dan juga keluarga.