11

70 9 0
                                    


Siang itu setelah melihat pengumuman nilai sejarah di grup kelas, mood Nabila seketika menjadi buruk. Alhasil, ia menghabiskan dua batang coklat yang kemarin diberikan oleh Rehan kepadanya.

Di layar ponselnya tertulis bahawa Nabila Shafa Kamila mendapat nilai 56. Ia tahu diri dengan kemampuannya, ia tahu diri seharusnya kemarin tidak terbawa emosi dengan ucapan Ibu dan terus bersikap proaktif. Yah, Namanya juga Nabila, ia bersikap reaktif terhadap stimulus yang diberikan kepadanya. Ketika orang lain menyakiti hatinya, ia pun akan sedih bahkan menangis. Ketika orang lain mengatainya jelek, ia pun akan mempercayainya.

Berbeda jauh dengan Rani. Ia mendapat nilai 38, sesuai dengan nomor sepatunya. "Nilai ulangan gue kecil bukan berarti gue bego. Nilai ulangan tu tergantung sama guru pengawas. Kemarin pengawas di ruangan gue punya banyak mata, makanya gue sama sekali enggak bisa nyontek." Itulah yang dikatakan Rani ketika Nabila menanyai apakah dia baik-baik saja ketika mendapat nilai terkecil di kelas. Kelasnya memang cukup kompetitif dibandingkan saat SMP dulu. Stigma mengenai anak SMK yang malas dan bodoh pun lenyap di pikiran Nabila.

"Bodo amat nilai gue kecil. Enggak ngaruh juga sama masa depan.

"Asal lo tahu aja ya, kalau mau kerja lulusan SMK itu kebanyakan dari kenalan. Sedangkan kalau mau kuliah lewat jalur SNMPTN, kemungkinan besar anak SMK enggak bakal lolos. Jadi, I don't give a fuc*k tentang nilai," tambah Rani menggunakan voice note beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Aulia merutuki dirinya sendiri karena tidak mendapat nilai sempurna, walaupun sudah mendapatkan nilai 95—yang merupakan nilai tertinggi di kelasnya. "Kayaknya aku harus minta ulangan tambahan atau ulangan perbaikan gitu biar dapet 100. Mungkin aku setelah ulangan semester selesai. Aulia memutuskan sememakai panggilan aku-kamu dan Nabila pun menyutujuinya. Nabila juga sudah tidak tercengang mengenai keambisiusan Aulia.

Ketika ulangan harian, apabila Aulia tidak mendapat nilai sempurna, pasti dia akan meminta perbaikan nilai. Walaupun ada beberapa guru yang menolaknya, tapi dia tetap optimis.

"Setelah lulus SMK, aku bakal kuliah ngambil jurusan manejemen sambil kerja," ungkap Aulia di suat pagi di sekolah kepada Nabila.

Seharusnya Nabila mengikuti tabiat Aulia dan menjadikannya suri tauladan. Namun, ia tidak minat dengan pelajarannya. Dan ia juga tidak memiliki ambisi yang sesuai dengan jurusannya. Mungkin apabila di jurusannya mempelajari biologi, kimia, atau fisika, ia bisa seambis Aulia.

Nabila bukan Aulia, mereka adalah dua orang yang berbeda. Berbeda bakat, minat, sifat, latar belakang keluarga dan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Boleh jadi Aulia adalah anak emas yang selalu disanjung oleh guru-guru dan menjadikannya murid teladan yang patut ditiru. Namun, Aulia tidak memiliki kemampuan sosialisasi yang baik seperti Rani atau Nabila atau kemampuan bahasa inggrisnya tidak sebaik Nabila. Dan Nabila memahami itu sehingga tidak ada rasa iri sekalipun, terhadap prestasi Aulia yang seharusnya bisa ia raih atau bahkan lebih.

Hampir semua pelajaran—kecuali bahasa inggris tentunya—Nabila mendapat nilai di bawah KKM. Dulu dia yang selalu mendapat nilai sempurna ketika SMP dan selalu dielu-elukan oleh guru serta banyak orang ingin berteman dengannya. Berbanding terbalik dengan Nabila yang sekarang. Tak satu pun guru yang hafal dengan namanya dan juga tak ada yang mendekatinya untuk mengajati sesuatu.

Pelajaran yang tidak diminatinya sehingga tatlakal memasuki kelas, perasaannya seperti sapi yang akan dijagal. Enggan dan terpaksa.

Sudah beberapa hari Nabila tidak melihat Dani sejak ia bertemu dengan Rehan. Sedangkan Rehan kali ini lebih perhatian dengan Nabila. Bentuk perhatiannya adalah dengan menanyakan apa yang dilakukannya dan bagaimana perasaannya. Nabila pun hanya mencoba bersikap baik. Namun, belum bisa membuka diri seperti yang ia lakukan dengan Dani. Beberapa kali Rehan juga mengajaknya jalan-jalan yang langsung ditolak Nabila.

"Tega banget si lo gantungin Rehan. Lalo gue jadi lo, gue yang bakal nembak Rehan," ucap Rani di tengah-tengah memakan soto di kantin belakang.

"Hukuman gantung aja sekarang diganti hukuman tembak, Bil," tutur Aulia dengan ekspresi datarnya. Lalu Nabila dan Rani pun tertawa menanggapinya. Baru kali ini Aulia setuju makan di kantin setelah ditarik paksa dan diancam tidak akan mengganggapnya ada.

"Gue juga enggak bakal tega kali gantungin Rehan lama-lama. Mungkin setelah bagi raport gue mau jadi pacar dia secara resmi."

Gerombola tukang rusuh bertandang ke kantin belakang tersebut. Sebelumnya suasana kantin yang damai berubah menjadi gaduh. Gerombolan tersebut memang selalu bergilir mengunjungi kantin, dari kantin depan, tengah, dan dapur. Dan yang pasti salah satu dari mereka membawa gitar.

"Sssttt, ada mantan gue. Ayo cabut," bisik Rani sembari melirik ke arah Deygo yang sedang menjahili adik kelas.

Setelah membayar dan mau tidak mau melewati gerombola tukang rusuh. Rani menutupi wajahnya dengan masker yang selalu ia bawa kemana-mana di dalam tas kecilnya.

"Mentang-mentnag ad amantan langsung kabur!" seru Nanda yang membawa gitar sekaligus duduk di meja samping Deygo.

"Dikira pake masker langsung bisa nyamar kali ya." kali ini Deygo berteriak ke arah mereka bertiga yang langsung diacungi jari tengan oleh Rani. Lantas Deygo dan kawan-kawannya hany tertawa menanggapi gerakan kurang ajar Rani.

Begitulah drama yang selalu ditemui oleh Rani karena mantannya juga ada di mana-mana. Dan tentu saja yang mengakhiri adalah Rani dengan cara yang tidak baik-baik.

****

"Pak, saya berencana akan kuliah," ucap Nabila di kala bada Maghrib. Ia sudah menyiapkan kopi di depan Ayahnya sebagai tanda ia meminta sesuatu.

Bapak melepaskan kecamata bacanya lalu menaruhnya beserta Al-quran di atas bupet. "Bapak kira kamu mau langsung kerja setelah lulus SMK."

Nabila menghela napasnya dan menyiapkan diri untuk tidak menangis ketika menerima jawaban dari bapaknya. "Aku mau kerja sampai aku pensiun, Pak. Dan aku pengin jadi professional di bidang yang aku ambil nanti."

"Bapak bisa biayai kamu kuliah kalau kamu mau kuliah di Universitas Muhammadiyah tempat Bapak bekerja." Bapak menyeruput kopi yang masih suam-suam kuku.

"Tapi, aku pengin kuliah di Jawa, Pak. Kalau Bapak enggak mau biayain, aku bakal cari biaya sendiri. Aku Cuma mau minta izin dan minta dukungan moral." Sebisa mungkin Nabila menjaga nada suaranya di kala ia menjaga suasana hati.

"Howalah, Nduk. Kamu masih kelas sepuluh kok udah mikir kuliah."

"Biar aku ada tujuan. Jadi, tahu arahnya kemana,' ucap Nabila mantap. Ia tipe orang yang harus memiliki tujuan sehingga tidak membuang usaha yang sia-sia.

"Kalo kamu kuliah di Jawa. Siapa yang mau ngurus orang tuamu ini yang sudah mulai tua." Untungnya Ibu sedang tidak berada di rumah. Jika tidak, mungkin Nabila sudah terbawa emosi dari tadi ketika Ibu merecokinya. Berbeda dengan Ibu, Bapak memiliki pembawaan yang tenang.

"Ya jangan mikir ke situ dulu lah Pak."

"Bapak enggak ngizinin kamu kuliah di Jawa ataupun luar kota," ucap Bapak tenang bersandar di punggung kursi. Kendati suara Bapak yang tenang membuat Nabila tidak bisa mengelak.

Kedua kalinya Nabila menghela napas berat. Lalu dengan langkah gontai dan wajah ditekuk ia memasuki kamar dan menguncinya.

Tentang NabilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang