Nabila mencerikan mulai dari kegagalan masuk SMA, kegagalan LKS, sampai dengan keluarga yang tidak mendukungnya untuk kuliah. Hidupnya terasa tidak adil dan menyedihkan.
"Coba kamu pahamin dari sudut pandang orang tuamu. Coba kamu jadi mereka. Mereka mungkin tidak mendapatkan hal-hal yang bisa kamu dapatkan sampai berpengaruh sama pola pikirnya."
Jika dipikirkan. Bapak dan Ibunya tidak bisa mengenyam pendidikan sampai SMA. Bapak yang tidak pernah bergaul atau mengikuti acara sosial membuatnya memiliki pemikiran tertutup. Ia masih menganggap pendidikan tidak terlalu penting. Yang terpenting adalah kerja dan langsung mendapatkan uang. Begitu pula dengan Ibu yang selalu mengikuti keputusan Bapak.
"Ibu adalah satu-satunya orang yang mencintai anaknya tanpa syarat. Walalupun kamu beberapa kali menyakiti hatinya, tapi Ibu akan selalu memelukmu ketika kamu kembali. Coba maklumi mereka."
Ketika dalam perjalanan pulang dari hutan, Nabila terus memikirkan perkataan Eden yang ada benarnya. Ia terlalu egois. ia terlalu memikirkan dirinya sendiri tanpa pernah melihat sudut pandang orang tuanya.
Eden langsung tersenyum ketika melihat neneknya yang sedang menaruh cabai di tampah. Gadis itu memberikan buah beri yang ia temukan di hutan kepada neneknya. Lalu bercanda sampai mereka tertawa.
Pemandangan tersebut tak luput dari penglihatan Nabila. Tiba-tiba Nabila merindukan Ibu. Ia tak ingat kapan terkahir kali tertawa bersama. Seketika itu air matanya menetes teringat Ibu.
"Besok pagi pulang yuk," ajak Nabila kepada Dani yang sedang memakan buah strawberry. Cowok itu baru saja memetiknya di kebun Eden. Kebun yng ditanami berbagai macam sayur-sayuran dan buah-buahan.
"Katanya lima hari di sini."
"Itu kan kata lo."
"Besok ya pulang. Gue udah cukup di sini. Gue pengin pulang." Nabila melipat kedua jarinya pertanda memohon.
"Hmm." Cowok itu terlalu asyik makan sampai tak mau melihat ke arah Nabila. Ia juga terpikirkan dengan tugas-tugas sekolah yang tertumpuk ketika pulang nanti.
***
"Maafin aku ya Bu," ucap Nabila di pelukan Ibunya. Sedangkan Kaesi mengelus rambut anak bungsunya dengan sayang.
"Maaf untuk apa?"
"Untuk segalanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Nabila
Teen FictionNabila, gadis lugu yang memandang dunia ini dengan optimisme terjebak dengan ekspetasinya sendiri. Di umurnya yang belum genap tujuh belas tahun, ia harus menelan pahitnya kegagalan hidup, mulai dari kegagalan cinta, sekolah, dan juga keluarga.