4

130 12 0
                                    

Esok harinya Nabila tetap memikirkan mengenai kata-kata cowok yang belum ia ketahui namanya itu mengenai konsep adil dan tidak adilnya manusia. Nabila memang mengakui kalau ia harus membiasakan diri dengan ketidakadilan hidup. Tetapi, dia baru saja menjadi murid SMK dan masih berumur lima belas tahun. Dia belum siap menghadapi kejamnya dunia.

Baru kali ini dia merasakan kegagalan yang begitu menyakitkan. Kegagalan masuk SMA favorit dan berakhir di SMK. Di SMA pasti banyak sekali kesempatan yang bisa ia dapat, misalnya pertukaran pelajar ke luar negeri atau mengikuti olimpiade. Sedangkan di SMK dia tidak tahu apakah terdapat kesempatan atau tidak yang bisa ia dapat.

Sebenarnya terdapat rasa bangga ketika dia mendapat nilai ujian nasional murni dari hasil jeri payahnya sendiri. Tetapi rasa bangga itu tertutupi oleh rasa kegagalan yang menyakitkan. Orang tuanya atau guru tidak pernah mengatakan kalau kegagalan sangat menyakitkan.

Apabila terdapat kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahan dalam hidupnya, pastinya Nabila akan lebih giat lagi dalam belajar untuk menghadapi ujian nasional atau mungkin memakai kunci jawaban untuk pelajaran matematika.

Di tengah lamunannya menuju sekolah, Nabila dikagetkan oleh suara klakson motor.

Rehan lagi. Apakah cowok ini niat untuk mendekatinya atau hanya iseng-iseng saja. Nabila pun tidak tahu kebenarannya. Ia tidak memiliki banyak pengalaman dengan cowok.

"Gimana, mau bareng sama saya? Sekolah masih agak jauh tu," ujarnya sembari berusaha mengurangi kecepatan motornya untuk mengimbangi langkah kaki cewek dengan rambut sebahu itu.

"Enggak deh Kak. Enggak enak."

"Kok ngomong enggak enak si. Nyobain aja belum. Saya enggak maksud apa-apa kok sama kamu."

Nabila menghentikan langkahnya lalu mengaitkan rambut sehabunya ke telinga untuk melihat dengan mudah ke arah cowok itu. Yang dilihat pun hanya nyengir memamerkan satu lesung pipinya yang berada di sebelah kanan bawah pipi.

"Kalo Kakak maksa, aku naik aja deh."

Nabila menaiki motor matic tersebut. Toh masih pagi, belum banyak pelajar yang berangkat ke sekolah. Sehingga tidak banyak yang melihat mereka boncengan motor. Dia juga masih merasa lelah karena bersih-bersih rumah secara menyeluruh yang rutin dilakukan pada hari minggu.

"Kok enggak pegangan sih Nab. Jatuh entar," ucap Rehan ketika mereka mulai melaju di tepi jalan raya.

"Enggak mungkin jatuh dong. Orang kakak aja kecepatannya enggak sampe 20."

"Hahaha santai ajalah, masih jam setengah tujuh. Eh enak ya manggil kamu Nab, Nab, Zaenab," ujarnya diselingi tertawa. Nabila memukul bahu Rehan pelan. Yang dipukul pun tidak terasa.

"Emang Kakak biasanya berangkat pagi jam segini ya," tanya Nabila ketika mereka diam saja dalam beberapa menit. Cewek itu tidak suka dengan kecanggungan.

"Enggak. Biasanya saya berangkat lima menit sebelum masuk dari rumah. Udah langganan telat juga." Sesekali Rehan melirik Nabila dari kaca spionnya. Cewek itu terlihat manis dengan poni dan rambut sebahunya.

"Lha terus sekarang kok berangkat pagi?"

"Coba tebak."

"Biar enggak telat lagi," tebak Nabila asal.

"Salah."

Nabila mengerucutkan bibirnya. Hal itu tak luput dari penglihatan Rehan. "Terus kenapa?"

"Biar bisa lihat kamu."

Nabila merasakan pipinya merona.

***

"Eh tadi gue bareng Kak Rehan tahu. Dia nawarin gue tebangan. Karena gua capek, yaa gue mau aja. Tadi juga kita tukeran nomor WA," ungkap Nabila ketika istirahat di kelas. Beberapa orang memang lebih memilih membawa bekal ketibang jajan di kantin, termasuk Nabila.

Tentang NabilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang