8

78 9 0
                                    


Ponsel android yang sudah jadul itu berbunyi. Nabila menghela napas kesal, lantas ia geser layar ponsel tersebut untuk mengangkat panggilan dari Mutiara yang merupakan kakaknya.

"Assalamua'laikum, ngapa si Kak nelpon segala. Ganggu aja," ujar Nabila pada saudara perempuannya itu.

Yang di seberang telepon pun menjawab santai, seolah tidak terpengaruh dengan sikap kurang ajar dari adiknya yang terpaut empat tahun dengannya. "Gue mau ngomong sama Ibu. Kasihin HPnya ke Ibu. Cepetan."

"Selow si."

Nabila melintasi ruang keluarga lalu ke dapur. Yang kemudian ia sampai ke pekarangan belakang rumah—di mana Ibu sedang memtik tomat yang ditanamnya tiga bulan lalu.

"Kak Mutiara," ucap Nabila seraya menyerahkan ponsel ke Ibunya. Perempuan yang sudah mulai memiliki uban itu pun menyambutnya dengan senyuman lebar.

"Assalamua'laikum Kak. Wah, gimana kabarnya? Sehat kan di sana? Masih betah kan kerja di sana?" Ibu selalu kelewat antusias taatkala anak sulungnya itu menelpon. Padahal setiap seminggu sekali, Mutiara rutin menelpon, tetapi Ibu selalu berbiacara antusias seolah-olah sudah lama tidak bercakap.

Sementara itu, Nabila hanya mendengus kesal ketika ia menerima wadah yang berisi tomat. Maksudnya, Ibu menyuruh Nabila untuk memetik tomat yang belum sempat ia petk. Tentu saja Nabila tidak bisa menentang titah sang Ibu. Padahal seharusnya ia belajar untuk ulangan semester pertama besok.

Dengan berat hati, Nabila mulai memetik buah bulat tidak sempurna itu yang sudah menua.

"Apa?! Kakak udah bisa kirim uang? Alhamdullilah Kak, Ibu seneng banget. Bapak juga pasti seneng banget dengernya. Lumayanlah buat bayar uang komitenya Nabila yang nauzubillah mahalnya. Apalagi dia sekarang minta jatah uang jajan sepuluh ribu tiap hari," tutur sang Ibu sengaja membesarkan suaranya.

Nabila menghentakkan langkahnya ketika ia berjalan mendekati Ibu.

"Aku mau belajar buat ulangan semester besok. Biar nilainya dapet bagus. Biar uang komitenya enggak sia-sia." Tanpa izin Ibu, Nabila masuk ke rumah. Sementara itu, wadah tomatnya ia tinggalkan di bawah kaki Ibu karena ia belum selesai memetik tomat.

"Apa coba maksudnya ngungkit-ngungkit uang komite. Kan bukan salahku juga uang komite mahal," gumam Nabila kepada dirinya sendiri. Ia juga tidak habis pikir kenapa kakaknya menelpon saat ia tengah belajar untuk ulangan semester, padahal ia sudah mengunggah story whatsapp yang berisi foto buku paket sejarah beserta buku catatannya dengan depkripsi emoticon lelah satu jam yang lalu.

Tujuan Nabila mengunggah story whatsapp tersebut adalah agar tidak orang yang mengajaknya chatting-an atau telponan. Terutama Rehan. Sudah banyak yang melihatnya, termasuk Mutiara.

Dengan kedongkolan hatinya yang belum sirna, Nabila mulai meneruskan membaca materi sejarah. Sesekali ia menghapalkan beberapa fakta. Namun, hampir seluruh materi berisi fakta. Sehingga mau tidak mau Nabila menghapalkannya sesuai dengan materi.

Hal itu bukan tanpa sebab. Ulangan harian sampai dengan ulangan semester di sekolahnya memakai bentuk esai. Menurut kabar angin, SMK Nusa Bangsa memakai bentuk esai untuk menghemat kertas. Dengan bentuk soal esai hanya akan diperlukan setengah lembar HVS. Sedangkan apabila menggunakan bentuk soal pilihan ganda, total kertas yang dipakai untuk satu orang murid maksimal enam lembar kertas HVS. Nabila berdecak ketika ia mengingat kabar burung tersebut.

Salah satu kelemahan dari sekian banyak kelemahan yang Nabila punya adalah menghapal. Menurutnya, ia dilahirkan dengan otak yang khusus untuk menganalisis dan menalar saja. tentu saja itu opini ngawurnya. Ia tidak mau membayar mahal untuk mengecek otaknya.

Pintu kamarnya terbuka menampilkan Ibu dengan raut wajah senangnya yang belum juga lenyap.

"Nah bener, belajar yang rajin biar nanti kamu bisa kerja kayak Kakak kamu Mutiara. Biar Bapak Ibu kamu ini bisa tenang enggak mikirin biaya sekolah." Ia menatap ke arah anak bungsunya itu yang masih fokus membaca buku. Sementara itu, tangannya meletakkan ponsel satu-satu di rumah itu di atas nakas.

Nabila menyelesaikan membaca sampai akhir paragraf lalu menatap Ibunya dengan tidak percaya. "Jadi aku sekolah itu jadi beban Ibu sama Bapak?"

"Ya bukan gitu, Dek. Kamu sendiri tahu kan uang komite kamu hampir lima juta tiap tahun. Sedangkan Bapak kamu kerja dan punya sawah Cuma bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari sama kebutuhan sekolah kamu. Itu pun kalau akhir bulan, Ibu harus ngutang untuk beli sayur sama uang jajan kamu. Jadi Ibu harap kamu paham dengan keadaan kita," ungkap Ibu sambil mengelus-elus rambut Nabila.

Gadis itu menyingkirkan tangan Ibu dari kepalanya. "Nabila harap Ibu juga paham sama cita-cita aku. Ibu juga seharusnya tahu bahwa aku dulu belajar mati-matian buat ngeraih cita-cita aku. Aku mau kuliah Bu. Aku enggak mau kerja jadi buruh pabrik kayak Kak Mutiara." Langsung saja Nabila berjalan cepat keluar dari kamarnya dengan membanting pintu. Tak lupa sebelumnya ia meraih ponsel jadulnya.

Sore itu cahaya matahari masih bersinar. Begitu pula dengan kemarahan Nabila yang masih berapi-api. Marah, sedih, tidak terima, dan tidak percaya menerima realita hidup berbaur menjadi satu di dalam dirinya.

Ia berlari ke arah taman bermain, dimana ia akan menenangkan dirinya. Lantas taman bermain itu hanya terdapat dua anak kecil yang sedang bermain jungkat-jangkit. Untungnya arena bermain favorit Nabila kosong. Langsung saja ia bermain ayunan.

Semilir angin sore serta vahaya matahari nan hangat berhasil menangkan Nabila. Matanya memerah namun aair matanya tidak pecah. Ia tidak mau dilihat orang-orang kalau ia sedang menangis. Ia tidak mau terlihat lemah di hadapan orang lain atau terlihat memiliki masalah. Sudah cukup ia menonton drama korea, cukup di dunia fiksi saja ia melihat drama hidup. Tidak akan sudi hidupnya akan ternodai dengan drama dan tetesan air mata.

Nabila memejamkan matanya sembari terus memijakkan kakinya di tanah untuk mendorong ayunan. Ia menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya. Berulang kali ia lakukan itu namun beban di dalam dirinya belum juga lenyap. Rasanya seperti ada sesuatu yang masih bercokol di hatinya. Kenyataan-kenyataan hidup terus berhantaman di dalam kepalanya .Realita hidup yang belum bisa ia terima.

Dengan gesit, Nabila mengetikkan sesuatu melalui ponselnya.

Nabila : Gue butuh lo sekarang. gue butuh temen sekarang.

Dani : gue lagi belajar.

Nabila : Ck, tega ya lo. Kalo lo enggak dateng sekarang juga, bisa aja besok gue udah enggak ada. Gua ada di taman deket TK. Kesini ASAP.

Dani : Y.

Setelahnya Nabila bernapas lega ketika Dani mau menemuinya.

Tentang NabilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang