23

44 7 0
                                    


"English dibaca inglish," perintah Bu Norma mengoreksi kesalahan penyucapan Nabila.

"Englis," ucap Nabila sama seperti sebelumnya.

Dengan sabar Bu Norma mengejari dan menyadarkan kesalahan Nabila. "English dibaca kayak ngomong linggis, Cuma L-nya dihilangkan."

Hari ini adalah hari latihan terakhir. Besok peserta LKS dari kota Metro sudah mulai berangkat ketempat diadakannya LKs tingkat provinsi yaitu di kota Bandar Lampung.

Nabila belum seratus persen siap menghadapai lomba tersebut. Bahkan terdapat beberapa materi presentasi yang belum ia hafalkan. Selain itu, pekerjaan lain juga belum ia kuasai. Masih terdapat kesalahn sana-sini dan juga kekurangan waktu dalam mengerjakan pekerjaan tersebut.

Dua minggu terlewat begitu saja. waktu tersebut tidak dimanfaaatkan begitu baik oleh Nabila. Dan Bu Dwita juga tidak membuatnya berlatih begitu keras. Beliau tahu apabila Nabila dipaksa, gadis tersebut malah memberontak dan tak termotivasi.

Ketika melihat materi presentasi yang tertumpuk di samping komputer, rasanya Nabila ingin memutar ulang waktu saja.

"Nabila langsung ke ruangan kepala sekolah bareng anak LKS lain," ucap Bu Dwita di ambang pintu.

Nabila mengiyakan lalu keluar dari lab komputer. Ia berjalan sendiri ke ruangan kepala sekolah.

"Langsung masuk aja Nak," ucap salah satu petugas tata usaha. Raunagan kepala sekolah dan ruangan tata usaha memanglah satu gedung.

Sebelumnya Nabila belum pernah masuk ke dalam ruangan kepala sekolah hingga akhirnya ia masuk ke dalam ruangan tersebut. Ruangannya sederhana sama halnya seprti ruang guru produkti di mana terdapat kursi ukiran untuk tamu, meja dan kursi untuk kepala sekolah, dan perbotan kantor biasa.

"Yang ikut LKS udah di sini semua ya?" tanya Ibu kepala sekolah. Nabila tidak tahu karena sebelumnya ia belum berkenalan dengan pemenang LKS dari sekolahnya. Selain itu, ia adalah siswi kelas sepuluh yang masih asing dengan siswa-siswi di sekolahnya. Sehingga cewek itu berusaha tdak melihat ke arah kepala sekolah. Kalau sampai tatapan mata mereka bertemu, Nabila tidak tahu harus berkata apa.

"Iya Bu sudah semua berserta helper dari pemasaran dan tata boga juga. Jadi totalnya tujuh," ucap salah satu perempuan berwajah tionghoa. Yang baru Nabila ketahui bernama Stefany.

"Sebelumnya selamat untuk kalian karena sudah sampai di tahap ini." Kepala sekolah tersebut bernama Bu Dwi mengedarkan pandangan ke anak-anak harapannya itu. lalu berusaha mengingat tiap wajahnya. Beberapa ia kenal dan haal, namun yang lainnya tidak ia kenali.

"Jadi, langsung saj ake inti. Sekolah kita sudah lama tidak memenangkan juara pertama LKs provinsi. Iu pengein banget liat kalian dipanggil ke depan panggung dengan juara pertama dan mewakili provinsi kita ke nasional."

Ibu minta tolong sama kalian untuk bisa melakukan yang terbaik dan mendapat hasil yang terbaik juga," ucapnya penuh harap epada tujuh siswa-siswi tersebut.

"Waktu kita terbatas, jadi langsung saja kalian boleh pulang untuk menyiapkan besok dan istirahat. SMK.."

"BISA!" jawab ke tujuh pelajar tersebut serentak.

"SMK.."

"BISA!"

Satu per satu mereka bersalaman dengan Bu Dwi lalu keluar ruangan dengan wajah bersemangat. Namun, tidak dengan Nabila.

***

Pada keesokan harinya Nabila berkumpul dengan peserta LKS yang lain. Ia membawa satu koper kecil dan juga satu tas punggung yang biasa ia pakai ke sekolah. Mereka sedang mem-packing peraltan yang dibutuhkan saat lomba. Banyak seklai yang mereka bawa dari masing-masing jurusan. Apalagi jurusan tata boga dan pemasaran yang membawa begitu banuak peralatan sampai satu mobil boks.

"Untuk dinda dan Nabila ikut mobinya Bu Aam ya." Nabila pun hanya mengangguk lalu menarik kopernya menuju mobil yang ditunjuk Bu Dwita.

Suasana canggung memenuhi mobil yang ditumpangi Nabila. Dinda yang tidak mencoba memulai percakapan, begitu pula dengan Nabila membuat dua orang itu diam membuang muka ke jendela mobil. Nabila yang jarang sekali jalan-jalan mecoba mengingat jalan yang telah mereka lalu menuju ibukota provinsi Lampung.

Sedangkan Bu Aam yang menyetir mobil dan Bu Rosita mengobrol sendiri.

"Kamu kelas berapa?" tanya Dinda ketika bosan melihat ke arah jendela. Sebelumnya Dinda belum pernah melihat gadis yang duduk di sebelahnya.

"Kelas sepuluh," jawab Nabila

"Wah, berarti Cuma kamu doang ya yang kelas sepuluh."

"Hmm, iya."

Perjalan mereka menuju Bandar Lampung pun diselingi obrolan singkat. Dinda yang ramha dan tidak asyik dengan gawainya membuat Nabila nyaman dan tak segan untuk memulai obrolan kali ini/ kendati tak punya topik obrolan karena latar belakang yang berbeda, Namun Nabila dan Dinda bisa saling bertanya mengenai pekerjaan yang akan mereka lombakan.

"Kakak ikut ekskul enggak si?" tanya Nabila karena setahunya ia tak pernah melihat Dinda di ekskul manapun. Ia juga bukan kakak kelas yang sering terlhat di sekolahnya. Bahkan Nabila baru mengetahui adanya Dinda.

"Sekrang enggak tapi dulu pernah ikut ekskul paskibra. Ikut Cuma sampai diklat, abis itu keluar."

"Sama Kak. Kalo aku ikut PMR. Tapi belum sampai dapet badge aku udah keluar. Capek dan aku enggak suka kesenioritasannya tinggo," ungkap Nabila sebelumnya mereka duduk menjauh menuju jendela. Namun, sekarang merek amendekat yang hanya terpisahkan beberapa jengkal.

"Ibuku juga enggak boleh ikut kegiatan yang berat jadinya keluar deh."

Mereka sampai di hotel Nusantara ketika matahari berada di atas kepala. Sesampainya di sana mereka menunggu di lobi untuk cek in dan mengisi nama tanda peserta.

Hotel yang mereka tempati tidaklah mewah. Bahkan hanya terdapat empat lantai yang masih belum ada lift. Sehingga pengunjung haruslah memakai tangga untuk menuju lantai berikutnya.

Mengesampingkan fasilitas yang belum memadai. Hotel tersebut cukuplah nyaman untuk para peserta lomba. Hotel Nusantara memang sering dipakai untuk penginapan peserta lomba peserta sekolah. Bahkan sebgaian pekerja di sana dalah anak SMK yang sedang praktek atau kerja part time.

Sayangnya Nabila tidak satu kamar dengan dinda. Dia satu kemar dengan Stefanu yang berasal dari jurusan pemasaran dan Wayan dari jurusan tata boga.

Nabila tidak tahu apakah dirinya bisa bebaur dengan Kakak kelas selain Dinda. Kepribadiannya yang intorvert menyulitkan dia untuk dekat dengan orang baru. Bahkan di benaknya, Stefany dan Wayan tidaklah peduli mengenai keberadaaannya. Mereka sibuk dengan urusannya masig-masing.

Tentang NabilaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang