Terhitung sejak kamis lalu—yang mana sekarang hari sabtu—Nabila berusaha menjauh dari orang tuanya dan berusaha tidak menanggapi pembiacaraan dua orang tua itu. apabila ditanyai mengenai sesuatu, dia akan menjawab sekenanya yaitu sepatah dua patah kata. Gadis itu seolah berusaha membangun tembok tak kasat mata antara dia dengan Ayah dan Ibu.
Kendati masih dalam masa merajuk, Nabila tetap melaksanakan pekerjaan rumah yang sudah menjadi kewajibannya yaitu mencuci piring dan menyapu rumah. Yang demikian barangkali ia lakukan agar tidak mendapat kicauan dari sang Ibu.
Setelah pulang dari sekolah untuk pembagian raport—untung tidak diambil oleh orang tua—Nabila menelpon Mutiara tepat pukul dua belas siang ketika kakaknya itu sudah mulai istirahat dari kerja buruhnya.
"Lo dulu kok enggak kuliah si Mut, eh Kak," ucap Nabila mengoreksi tatkala sambungan langsung tersambung. Tak sudi ia menghabiskan kout ahanya untuk mengucapkan salam pembuka atau menanyakan kabar yang tidak perlu. Langsung ke inti dan berbicara seperlunya, itulah misinya sekarang.
"Lah kita kan miskin tapi enggak cukup miskin buat dapet bantuan dari pemerintah. Gue mah realistis aja sama keadaan dan juga kalo kuliah belum tentu gue dapet kerjaan bagus. Lulus SMK langsung dapet kerja dengan gaji di atas UMR itu udah untung banget." Terdengar suara kendaraan lalu lalang di ujung telepon sana.
"Gue ngambis pengin kuliah tapi enggak diizinin sama Ibu Bapak. Padahal gue enggak minta dibayarin, Cuma minta izin. Segitunya banget, enggak ngerti lagi gua." Frustasi dengan nasibnya, pernah terpikirkan untuk menghilang dari dunia.
Dengan nada sok bijaksana, Mutiara mencoba mengatakan hal yang paling rasional,"Bil, lo itu anak terakhir, perempuan lago. Bapak dan Ibu udah mulai berumur setengah abad. Lo ngertiin mereka. Mereka enggak mau lo pergi jauh dan ntar malah akhrinya nikah sama orang jauh. Mereka Cuma minta lo untuk selalu tinggal di rumah sampai mereka lebih tua nanti. Mereka Cuma minta itu, enggak lebih."
Nabila memutar kedua matanya lalu menghela napas. "Kenapa gue yang harus tinggal? Kenapa bukan lo. Gue pengin jadi wanita karir dan enggak mau semur hidup tinggal di kota kecil ini. Gue enggak minta dilahirin jadi gue enggak mengerasa harus berbakti sama mereka. Mereka enggak punya hak untuk minta sesuatu dari gue." Setitik air mengalir dari mata kanannya. Diikuti oleh air mata lainnya.
"Kenapa mereka ngelahirin gue kalau akhirnya hidup gue Cuma buat berbakti sama mereka?" isak tangis terdengar dari ponsel Mutiara. Gadis itu terdiam bingung akan menjawab apa atau bagaimana.
Seketika sebelum wajahnya banjir oleh air mata. Nabila menekan tombol merah dilayar ponselnya. Lalu menutupi wajahnya dengan bantal.
***
Ketika tangisnya suadah berhenti yang berhasil membuat kedua matanya sembab, Nabila mendapai telpon berbunyi di atas ranjangnya. Tertera nama Rehan di layar tersebut, lantas ia sentuh tombol hijau.
"Hei, Nab. Ehmm kamu sibuk?" tanya Rehan di seberang telepon sana.
"Enggak. Eh gimana kalau kita keluar makan mie ayam ceker." Seketika ide itu pun muncul dari kepala kecil Nabila. Setelah menangis rasanya ingin memakan makanan pedas atau super pedas yang akan membuatnya menangis mengharu biru. Sehingga apabila ia ingin menangis lagi, tangisnya akan tertutupi tangis yang disebabkan oleh mie setan pedas.
"Ha?" tanya Rehan memastikan pendengarannya. Padahal ia berniat menelpon Nabila karena ingin mengajaknya menonton film Avengers yang baru saja tayang di bioskop. Ia sangat penasaran bagaimana Thanos binasa.
"Makan mie ayam cakar setan deket Ramayana," ulang Nabila dengan sabar. Untungnya suaranya tidak sengau sehingga tidak terdengar terang-terangan kalau ia selesai menangis.
"Oh oke." Alhasil Rehan menyetujuinya. Baru kali ini Nabila mengajaknya pergi kendali dia yang menelpon duluan.
Dengan sigap Nabila bersolek dengan tujuan utama menutupi mata sembab dan hidung merahnya. Lalu ia memakai skinny jeans hitam serta baju atas coklat. Berbanding terbalik dengan cuaca yang cerah di luar sana. Namun sebanding dengan suasana hatinya.
Sudah jatuh, ditimpa tangga pula. Itulah peribahasa yang menggambarkan keadaan Nabila saat ini. Kemalangan yang datang dari dirinya sendiri. Tertulis di raport ia mendapat ranking 12 dari 30 siswa. Lalu setelah pulang sekolah Mutiara secara terang-terangan tidak mendukung Nabila untuk kuliah. Lengkap sudah keluarga menentangnya kuliah.
"Aku level 20 sama es teh manis dua botol," ujar Nabila kepada pelayan sembari tersenyum sopan ke arahnya.
"Saya level 8 aja Mba sama es lemon satu." Nabila tertawa dalam hati mendengar kalimat tersebut.
"Perut saya mules kalo makan pedes," jelas Rehan mengerti arti tatapan Nabila.
Sebelumnya Rehan belum pernah datang ke tempat ini, karena ia menghindari tempat makan dengan menu utamanya adalah makanan pedas. Ia lebih suka dengan makanan manis, seperti donat dan juga manusia manis seperti Nabila.
Tatanan tempat makan ini—yang bernama Mie Ayam Setan—memiliki tata letak yang bagus. Walauoun menu yang dimiliki cenderung tidak modern namun design interiornya seperti di cafe-cafe. Hanya saja lesehan dengan disediakan meja lebar panjang.
Pengunjung rumah makan Mie Ayam Setan ini selalu terdapat pengunjung pun tak pernah kosong. Namun, tak bisa dibilang cukup ramai. Yang berniat makan di sana adalah perempuan, sedangkan laki-laki sangat jarang.
"Jadi gini." Nabila membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba serak. Dia sudah menghabiskan satu mangkik mie tanpa sisa dan anehnya ia tidak mengeluarkan air mata setetes pun. Sekalipun rasa panas menguasai lidahnya. Ternyata ketika sudah makan, ia lupa dengan masalahnya.
Rehan mendongakkan kepalanya, ia memutuskan untuk menyerah. Ia tidak bisa menghabiskan mie yang level pedasnya jauh dari yang Nabila pesan.
"Aku mau jadi pacar Kakak." Nabila mengucapkannya tanpa ekspresi dan tanpa malu. Tidak senang pun tidak sedih. Ia sudah menepati janjinya. Ia tahu digantung itu lebih menyakitkan sehingga harus segera ditembak saja.
"Akhirnya." Rehan menaikkan kedua tangannya seperti sudah meraih kemenangan. Senyum mengembang di pipinya, meski matanya usdah memerah karena Mie Ayam Setan.
"Terima kasih sudah menjawab perasaan saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Nabila
Teen FictionNabila, gadis lugu yang memandang dunia ini dengan optimisme terjebak dengan ekspetasinya sendiri. Di umurnya yang belum genap tujuh belas tahun, ia harus menelan pahitnya kegagalan hidup, mulai dari kegagalan cinta, sekolah, dan juga keluarga.