Nabila baru saja meminta Aulia untuk membuatkannya surat dengan alasan sakit. Namun, sebenarnya ia tak sakit sama sekali. Ia hanya tak ingin bertemu dengan orang-orang di sekolahnya. Ia tak ingin melihat wajah-wajah orang kecewa, terutama Bu Dwita. Selain itu, ia juga tak ingin mengikuti upacara. Pastinya saat upacara nanti, kepala sekolah akan mengumumkan pemenang lomba komptensi siswa. Semua akan maju ke depan dengan memegang piala dan tersenyum di foto. Sedangkan ia akan menunduk lesu di barisan para siswa.
Banyak alasan kenapa ia tidak masuk sekolah. Setidaknya ia butuh waktu tiga minggu untuk mengurung diri. Merenungi hidupnya di kamar mandi. Merenungi hari-hari yang telah ia lalui, kesempatan yang telah ia sia-siakan dan tak pernah datang lagi.
Aulia percaya ketika Nabila mengatakan kalau ia sakit demam dan berkali-kali gadis itu menanyakan keadaannya baik-baik saja atau tidak. Nabila pun perlu meyakinkan gadis lugu itu untuk percaya.
Nabila tidak memberitahukan Rani kalau hari ini ia tidak berangkat. Ia tak mau diteror gadis keras kepala tersebut.
"Itu piringnya udah numpuk," ucap Ibu di kala Nabila sedang sarapan. Untungnya, Ibu tidak terlalu peduli apakah Nabila berangkat sekolah ataupun tidak karena Ibu percaya kalau Nabila akan naik kelas. Walaupun berkali-kali izin, anak itu pasti akan naik kelas. Guru pasti akan mengasihani anak muridnya.
"Iya-iya, nanti."
Walaupun nafsu makannya belum kembali dan masakan Ibu yang tidak cukup enak, Nabila memaksanakan diri untuk makan. Ia tak mau benar-benar sakit.
Setelah mencuci piring dan membersihkan rumah, Nabila mengurung diri di kamar. Sebelumnya ia sudah membakar smash book yang berisi foto-foto dirinya dengan Rehan. Ia tak mau lagi berurusan dengan cowok itu. Namun, jikalau sekadar menyapa ketika berpapasan pun tak apa.
Air matanya turun ketika menyadari hidupnya tak berjalan dengan baik. Pikiran negatif terus memenuhi kepalanya. Ia membenamkan wakahnya di bantal. Pagi itu, ia ingin tidur. Namun, fisiknya tidak bisa diajak tidur karena sudah cukup tidur.
Jika dipikir ulang, usahanya dulu ketika SMP sia-sia. Usaha fokus belajar dan tak pernah bermain layaknya remaja normal adalah seratus persen sia-sia.
Seandainya orang tuanya kaya pasti ia bisa masuk SMA swasta yang tdak memperdulikan berapa NEM-nya. Seadainya orang tuanya kaya, ia bisa meraih cita-citanya tanpa bingung dengan biaya. Seandainya kalau orang tuanya kaya, ia bisa jalan-jalan dan mendapatkan banyak teman. Dengan uang, hidupnya pasti akan lebih mudah.
Nabila tidak bisa memilih lahir di keluarga seperti apa. Nabila tidak bisa memilih fisiknya seperti apa. Tiba-tiba ia lahir begitu saja dan harus mensyukuri kehidupannya. Hidup tidaklah adil baginya.
Selain kehidupannya yang tidak adil, kehidupan percintaannya juga tidak berjalan mulus. Memiliki pacar tidaklah seindah di film-film remaja. Mungkin apabila ia lahir di keluarga yang kaya, cerita hidupnya akan berbeda. Mungkin ia akan bahagia memiliki pacar. Ia akan dimanjakan oleh orang tuanya dan juga pacar.
Dengan langkah tertatih, Nabila memakai jaket lalu keluar rumah. Ia masih memiliki uang dari lomba. Mungkin dengan memakan coklat batang dan es krim, suasana hatinya akan membaik.
Dengan rambut berantakan, mata yang membengkak sehabis menangis, dan juga ekspresi yang sedang sedih, ia keluar rumah menuju mini market.
Ternyata ketika Nabila keluar rumah, raja siang sedang berada di puncaknya. Namun, ia tak terburu-buru menuju tempat yang dituju. Yang dilakukannya adalah menghabiskan waktu dengan berjalan pelan. Sepanjang hidupnya ia selalu diajari untuk bergerak cepat agar tak tertinggal. Namun, dengan bergerak pelan ia bisa menikmati waktu dan mulai menyadari indahnya lingkungan. Nabila baru menyadari adanya bungan dandelion yang ada di trotoar retak. Kali ini bunga tersebut tidak ia petik karena bunga cantik tak seharusnya dipetik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Nabila
Roman pour AdolescentsNabila, gadis lugu yang memandang dunia ini dengan optimisme terjebak dengan ekspetasinya sendiri. Di umurnya yang belum genap tujuh belas tahun, ia harus menelan pahitnya kegagalan hidup, mulai dari kegagalan cinta, sekolah, dan juga keluarga.