Lampu petromaks dipasang di setiap sudut rumah. Begitu pula dengan halaman rumah yang dipasang lampu sehingga kesan gelap mengerikan hilang. Suara jangkrik memenuhi indra pendengaran Nabila. Hawa dingin pegunungan menerpa kulitnya menyebabkan ia harus melipat kedua lengannya.
Hidangan makan malam disajikan di dalam gubuk, yaitu meja yang berkaki pendek. Empat orang mengelilingi meja tersebut. Makanan berupa nasi, mie putih, sambal terung, dan oseng bayam tersaji di meja tersebut. Selain itu, terdapat macam-macam buah-buahan tropis berupa pisang, jambu biji, sawo, semangka, dan bengkoang. Semua itu adalah buah-buahan yang ditanam oleh Eden dan Nenek.
"Sebelum makan, marilah kita berdoa menurut kepercayaan masing-masing," ucap Dani sembari melipat kedua tangannya dan memejamkan mata. Sedangkan Nabila, Eden, dan Nenek menengadahkan tangan.
Mata Nabila melebar ketika memakan oseng bayam. Rasanya pedas manis dan sangat sesuai dengan lidahnya.
"Kamu makannya banyak tapi kok ndak berisi Dan." Nenek menonton ke arah cucu laki-lakinya yang sedang makan dengan lahap seolah-olah tidak makan berhari-hari.
"Aku makan banyak Cuma di sini aja Nek. Di rumah masakannya enggak seenak buatan kak Eden," ungkap Dani setelah menelan semua makanannya.
"Walaupun enggak berisi gini, Dani pacarnya cantik-cantik lho Nek. Iya kan Bil," ujar Eden.
Nabila pun mengangguk mengiyakan. Ia teringat dengan Theodora.
Nenek menambahkan nasi dan sayur di pirng Dani. Ia menatap sayang ke arah laki-laki tersebut.
Hidangan di atas meja pun habis, tak tersisa sama sekali. Bahkan satu nasi pun tak ada. Nenek selalu mengajarkan anak-anak serta cucu-cucunya untuk tidak membuang makanan sehingga Eden dan Dani sudah terbiasa menghabiskan makanan walaupun sudah kenyang. Sedangkan Nabila menghabiskannya karena rasa yang nikmat.
Nabila membantu Eden mencuci piring di pancuran air yang berada di halaman rumah. Pancuran air tersebut disalurkan melalui bambu sebagai pengganti paralon. Mencucinya pun tidak memakai sabun. Hanya memakai serabut kelapa lalu dibilas air sampai bersih.
Eden yang memiliki kucing seperti halnya Dani. Sekarang kucing tersebut berada di pangkuan Dani, meringkuk nyaman di pangkuannya. Sebelumnya Dani menggelar tikar di luar untuk menikmati suasana malam. Ia juga belum bisa tidur. Nabila ikut bergabung dengan Dani lantas merebahkan tubuhnya seraya melipat lengan ke belakang untuk menumpuk kepalanya.
Bintang bertaburan di langit malam. Sebuah pemandangan yang tidak dapat ditemukan di langit perkotaan. Bahkan di pedesaan pun mulai tidak bisa melihat taburan bintang karena makin banyaknya pengguna kendaraan bermotor. Polutan menutupi langit.
Nenek sudah tidur di kamarnya. Eden sedang sibuk mengerjakan sesuatu. Di halaman rumah hanya terdapat dua orang yang sedang terpukau dengan langit malam.
***
Ibu heran dengan Nabila yang tak kunjung pulang. Padahal langit sudah menggelap. Ia yakin walaupun selarut apa pun, gadis bungsunya itu pasti pulang. Ia sudah percaya Nabila tidak akan melakukan hal aneh-aneh.
Jarum pendek jam menunjukkan angka delapan malam, Ibu mulai khawatir. Bapak juga menanyakan keberadaaan Nabila. Hingga Ibu mondar-mandir. di ruang keluarga. Bapak dan Ibu tidak memiliki gawai sehingga tidak bisa menghubungi Nabila.
Ia sudah mengecek ke dalam kamar Nabila dan ia tak menemukkan empunya. Lalu ia kembali ke kamar tersebut. Seketika Ibu melihat selembar kertas yang diletakkan di kasur yang ditindih pulpen.
Ketika Bapak dan Ibu membaca surat ini. Nabila sudah pergi. Aku izin lima hari untuk pergi. Nanti aku kembali. Ibu dan bapak enggak usah khawatir keadaanku. Aku pasti baik-baik aja.
Nabila Shafa Kamila
Ia membaca tulisan di kertas tersebut sekilas lalu berulang kali memahami isinya. Setelah memahami isinya, seketika pikiran yang tidak-tidak memenuhi pikiran Ibu. Apakah anaknya itu kabur? Apakah anaknya itu bisa pulang sengan selamat? Ke mana Nabila pergi?
"Bapak!" teriak Ibu.
Bapak pun datang dengan membawa Al-quran. Berarti ia sedang membaca kitab tersebut ketika Ibu meneriakinya.
"Ada apa to Bu?" Bapak menemukan istrinya yang tercenung dengan tatapan kosong.
"Nabila pergi Pak. Nabila pergi selama lima hari. Kita harus gimana Pak?" Ibu menyerahkan selembar kertas kepada Bapak yang langsung dibaca olehnya.
Dengan membenarkan kacamatanya yang melorot, Bapak membacanya secara cepat . "Ya udah Bu. Nabila kan izin nanti juga pulang," ujar Bapak santai. Padahal ia juga ikut khawatir. Ia takut terjadi seuatu pada Nabila. Namun, apabila ia ikut khawatir, suasana malah akan bertambah runyam. Apalagi Ibu selalu overthinking apabia terjadi sesuatu pada anak-anaknya.
***
Setelah sarapan, Nabila dan Dani membantu Eden untuk memanen cabai di ladang. Jaraknya pun dekat. Dengan bertelanjang kaki mereka menyusuri jalan setapak menuju ladang.
Tekstur tanah setelah dirintiki air hujan jadi gembur namun tidak becek. Apalagi sehabis hujan menimbulkan aroma tertentu pada tanah. Nabila menyukai aroma tersebut.
Ladang yang ditanami cabai merah membuat pemandangan manjadi lebih indah. Apalagi dengan cabai yang berwarna merah. Tanaman cabai nampak begitu sehat karena dapat menghasilkan cabai yang berkualitas begus. Eden begitu senang melihatnya. Tak sia-sia dia merawatnya sepanjang waktu. Berpanas-panasan dan peluh yang selalu mengalir ketika merawat tanaman cabai dapat terbayar juga.
"Kakak nanem ini semua sendiri?" tanya Nabila di sela-sela memetik cabai.
"Enggak juga. Dibantu sama Nenek kok." Eden menyeka keringat yang mulai mengalir dari pelipisnya.
Dani dan Nabila sudah mengeluh lelah. mereka berdua duduk di tepi kebun cabai sembari menonton Eden yang masih memetik cabai tanpa istirahat.
Penampilan feminin selalu dipautkan dengan gadis yang lemah dan tidak bisa mengerjakan pekerjaan berat. Asumsi tersebut terpatahkan dengan adanya Eden. Gadis itu berpenampilan feminin dengan rambut panjang yang diurai, tapi tetap bisa melakukan pekerjaan kasar. Di balik tubuh kecilnya itu terdapat tenaga seorang algojo.
"Kak Eden umur berapa?" Nabila mengibas-ngibaskan topi capil ke arah wajahnya yang berpelu.
"Dua puluhan," jawab Dani singkat. Lalu cowok tersebut membantu Eden kembali, meninggalkan Nabila yang masih kelelahan.
"Dani langsung bawa cabainya ke rumah ya," perintah Eden sembari menyerahkan tas karung.
"Lah Kakak mau kemana?"
"Kakak sama Nabila mau cari jamur."
Dengan pasrah, Dani memakai tas karung serta memanggul karung lain yang berisi cabai. Nampaknya Dani kesusahan. Langkahnya beberapa kali oleng. Namun, cowok itu tetap bungkam dan lanjut berjalan.
Nabila hanya mengikuti Eden di belakang mencari jamur liar yang dapat dikonsumsi. Mereka menyusuri jalan yang sudah dihapal oleh Eden menuju ke hutan. Hutan di pegunungan tersebut tidaklah semenyeramkan seperti di bayang Nabila.
Langkah Eden tiba-tiba berhenti ketika melihat jamur yang tumbuh di kayu yang sudah lapuk. Nabila pun ikut berhenti. Ia mengikuti Eden untuk mencabut jamur-jamur di hadapannya.
"Jadi, kalian ke sini bukan saat liburan sekolah. Apa ada sesuatu sampai kalian memutuskan datang kesini?" Eden menaruh jamur yang sudah dicabut di keranjang yang terbuat dari jalinan bambu.
Nabila ragu untuk menceritakan alasannya ke sini. Ia baru mengenal Eden. Setelah keheningan terjadi cukup lama, Nabila akhirnya menceritakan hidupnya yang tidak berjalan mulus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Nabila
Teen FictionNabila, gadis lugu yang memandang dunia ini dengan optimisme terjebak dengan ekspetasinya sendiri. Di umurnya yang belum genap tujuh belas tahun, ia harus menelan pahitnya kegagalan hidup, mulai dari kegagalan cinta, sekolah, dan juga keluarga.