18. cukup sampe sini.

441 24 2
                                    

Reno berjalan santai dikoridor rumah sakit elite ini, salah satu tangannya memegang keranjang buah sebelah lagi ia menggandeng lengan bi Sari.

Reno terus bersiul menyenandungkan sebuah lagu kesukaannya.

" Den, jangan siul mulu ah pamali tau." ujar bi Sari sambil menatap Reno.

Reno mengangkat kedua alisnya, " Pamali siapa bi?" ujar Reno polos.

Bi Sari terkekeh pelan, " Pamali tuh kalo orang jawa bilang itu tuh yang dilarang den.." balas bi Sari sambil menepuk pundak Reno.

" Apa yang dilarang? Emang ada larangan?" kembali Reno bertanya polos.

Bi Sari hanya geleng-geleng kepala, mengingat pemuda disampingnya yang sedikit aneh.

" Dilarang siul denn." ujar bi Sari dengan gigi terkatup.

Reno hanya cengengesan lalu mengangkat tangannya berbentuk peace.

Mereka berdua melanjutkan langkahnya menuju lantai 3 menggunakan lift, sesampainya dikamar nomer 65 dokter keluar dengan seorang suster yang sebelumnya menyapa keberadaan Reno dan bi Sari.

" Woi bro!" seru Reno sambil menaruh keranjang di sisi Darka.

" Hmmm..." saut Darka tanpa beralih dari handponenya.

Bi Sari kemudian membuka penutup dari keranjang buah tersebut.

" Darka hari ini boleh pulang bi, nanti siang udah boleh." ujar Darka santai.

" Alhamdulillah Tuan, sehat terus ya." ujar bi Sari dengan senyum terharu.

Darka mengangguk samar, " Makasih ya bi, udah mau jagain Darka selama ini mau gantiin posisi Mama sama Papah." ucap Darka lembut.

Bi Sari mengangguk pelan, sudut matanya sudah berair ia kemudian memeluk Darka kuat.

Reno yang duduk di pojok ruangan terus mengelap ingusnya melihat pemandangan yang disuguhkan didepannya.

______________________

Revan menatap Raffi datar ia berjalan mendekati laki-laki yang sedang duduk ditaman kota sendirian.

Revan berjalan pelan kearahnya, dilihatnya laki-laki itu menunduk dalam, keadaan taman kota sangat ramai. Namun ia merasa seperti sendirian.

Revan terus mendekat sampai ia melihat kertas-kertas hasil rontgen dari rumah sakit, dan surat-surat penting dari rumah sakit kota.

Revan mengambil surat tersebut, namun sepertinya Raffi tidak mengetahui keberadaanya.

Revan membaca setiap isi yang ada dalam surat tersebut, alisnya tercuram tajam kemudian ia melihat kearah sosok Raffi yang menutupi mukanya dengan menyamai kepalanya dengan paha.

Revan menepuk bahu tegap pemuda didepannya.

Raffi mengangkat wajahnya, lalu matanya terbelalak kaget bukan main begitu juga dengan Revan. Wajahnya yang penuh dengan luka yang mulai mengering itu merah dan berair.

Dengan cepat Raffi mengusap wajahnya, lalu menatap datar kearah Revan.

" Gue kesini butuh semua kejujuran lo Fi! Kalo lo punya masalah, bicarain baik-baik sama kita jangan nusuk gini dari belakang. Pengecut." ujar Revan tegas sambil duduk disebelah Raffi ia mengeluarkan sebatang rokoknya, lalu menghidupkannya dan menghisapnya dalam dalam.

Raffi kembali menunduk kan wajahnya, ia kemudian menatap lurus kedepan melihat seorang gadis kecil cantik yang berlarian kesana kemari sambil memegang bunga tulip kuning.

" Adik gue kena kanker otak stadium akhir Van." gumam Raffi masih terus menatap kearah gadis kecil tersebut, yang sekarang menghampiri tukang es cream.

Revan hanya diam mendengerkan sambil terus menghisap rokoknya.

" Gue butuh dana banyak buat oprasi sama perawatannya." lanjut Raffi.

" Gue gak mau liat dia sedih." ujar Raffi sambil bangkit dari duduknya menghampiri gadis kecil tersebut yang terjatuh hingga es creamnya ikut tumpah ketanah.

Revan terus memerhatikan gerak-gerik Raffi yang membantu gadis cantik tersebut, dari membangunkannya, menenangkannya agar tidak menangis dan membelikannya kembali es cream dengan sekaligus 3 rasa berbeda.

Raffi mengusap lembut rambut lurus anak kecil yang tersenyum kearahnya, senyumannya sangat manis. Ia jadi teringat adiknya.

" Ka makasih ya, kaka baik." ujar gadis kecil itu.

Raffi hanya mengangguk pelan sambil terus tersenyum kearah gadis kecil tersebut. Sampai sang ibu memanggil nya, gadis itu pun menoleh kearah Raffi memberinya senyuman kecil terakhir lalu melambaikan tangan mungilnya dan berlari kearah sang ibu yang sudah menunggunya.

Raffi terus memerhatikan gadis kecil tersebut hingga hilang masuk kedalam sebuah mobil mewah.

Raffi kembali berjalan menuju kursi taman yang tadi, Revan masih terus menghisap rokok ke-2 nya.

Raffi berdiri tegak didepan bos sekaligus temannya ini.

" Maafin gue. Gue emang pengkhianat, pengecut, brengsek. Lo boleh laporin gue ke polisi gue siap. Tapi tolong jangan laporin Tyo karena dia lagi ngurus ibunya yang lagi sakit juga." ujar Raffi dengan muka datarnya.

Revan menaikkan satu alisnya, kemudian ia juga bangkit berdiri berhadapan dengan seseorang didepannya.

" Terus adik lo?" tanya Revan dengan nada dingin.

" Dokter udah gak bisa ngelakuin apapun, ini udah takdirnya. Beberapa hari lagi." ujar Raffi sambil menundukkan kepalanya.

Revan menepuk pundak Raffi sebentar.

" Pasti ada jalan."

________________________

Sorry ya guys! Part ini segini, author idenya mentok soalnya guyss muehehehe.

Yaudah jangan lupa vote & koment.

Salam sayang author.

DARKA (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang