One

1.1K 52 4
                                    


            Semilir angin berhembus kencang menusuk kulitku. Rasanya bagai menembus tulangku hingga membeku. Badanku sedikit kaku karenanya. Suamiku melihatku kedinginan dan ia menghampiriku yang berdiri membelakanginya. Kedua tangannya yang terbalut sarung tangan memegang pundakku untuk kemudian membalikan diri dan mendekapku dengan lembut. Kepalaku bersandar di bahunya, seketika aroma maskulin tercium menyenangkan hidungku. Tangan kanannya membelai belakang kepalaku sedang tangan satunya melingkar dengan pas dipinggang.

"Komm rein." (Masuklah)

Arzachel menuntunku masuk dan membantu memakaikanku coat dan mantel cokelat miliknya. Ia sendiri telah bersiap dengan mengenakan kemeja dengan balutan jas hitam.

"Ayo, orangtuaku sudah menunggu untuk makan." Arzachel menuntunku keluar dari kamar kami menuju ruang makan. Ayah dan ibu mertuaku melihat kami dengan senyuman sembari menyiapkan hidangan. Biasanya aku yang melakukannya, namun semenjak mereka datang dua hari lalu, pekerjaan dapur lebih didominasi oleh ibu mertuaku.

Meja makan bundar dengan dipaksakan lima kursi mengelilinginya. Aku duduk dengan sebelah kanan ayah mertuaku dan Arzachel berada di samping kiri. Ibunda Arzachel yang sudah memasak sayur lodeh yang katanya kesukaan sang kepala keluarga, suaminya. Ternyata keluarga Arzachel juga menyukai masakan Indonesia. Tiba giliranku untuk menyendok nasi untukku dan suamiku yang takarannya sudah ku hafal bertahun-tahun. Air minum telah terisi penuh di masing-masing gelas.

Makan bersama keluarga Arzachel membuatku mengingat sosok mendiang bunda. Meski dulu kami tinggal hanya berdua, ruang makan selalu ramai oleh kami berdua. Tiga tahun lebih bersama Arzachel yang cenderung pendiam membuatku merasa sedikit kesepian.

Arzachel bersedia menikahiku karena aku bisa mengandung anaknya. Lalu kenapa hingga sekarang dengan sengaja Arzachel tak membuatku hamil. Pertanyaan ini masih tersimpan rapat dibenakku, tak berani ku utarakan langsung padanya. Aku takut. Takut akan jawaban darinya.

Aku takut Arzachel sudah tak mencintaiku lagi.

"Uhukk!! Uhuk uhukk!!!"

"Aaaaaaaa."

Jeritan adik iparku lebih mengagetkan ketimbang suara Arzachel yang tersedak. Lamunanku buyar seketika. Aku mengusap-ngusap punggung suamiku pelan dan menyodorkannya minum.

Isi makanan yang gagal ditelan Arzachel muncrat mengenai wajah adiknya serta ke piringnya juga.

"Aku sudah berdandan rapi untuk kelulusanmu, tapi kakak merusaknya. Warum verschluckt es sich plötzlich?" (Mengapa tiba-tiba tersedak huh?)

Arzachel melotot pada adik sematawayangnya, meski ia masih terbatuk kecil. Liza, adik perempuan Arzachel menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. Tak lama ia bangkit dan tak meneruskan makannya.'

"Berdoalah supaya Liza tak berdandan lama." Seru ayah Arzachel memecah keheningan.

"Makan jangan terburu-buru, jadi kamu tersedak." Ucap ibunya Arzachel.

"Santan."

"Apa? Kenapa dengan mantan?

"Santan ma. Aku nggak akan makan sama lodeh." Ayah Arzachel tiba-tiba menatapku beberapa detik membuatku risih dan gugup. Beliau kemudian melanjutkan makannya.

"Mau kubuatkan roti sandwich?" Tawarku pada suamiku.

"Kamu makan aja, biar aku yang buat." Arzachel meninggalkan ruang makan dan pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapannya sendiri.

Kami melanjutkan sarapan dengan tenang tanpa Liza.

Beberapa saat kemudian, Liza menghampiri kami dengan pakaian berbeda dengan yang tadi. Wajahnya dipoles dengan natural, kecantikan alami terlihat sebagai perpaduan wajah Asia dari ibunya dan campuran bule dari ayahnya.

YOURS 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang