Five

446 35 6
                                    

Pict: K.N. Franjihan Febriyoga


Chapter sebelumnya:


Selesai membeli kaset film, mereka kembali ke parkiran café karena Jihan masih menyimpan motornya disana, ribet jika harus parkir lagi di toko kaset film yang jaraknya hanya beberapa meter dari café.

Motor ninja merah milik Jihan terlihat. Saat Jihan memberikan salah satu helmnya kepada Reiza, si pemuda yang lebih mungil berpendapat. "Biar gue yang nyetir. Lo nggak pernah ke apartemen Arzachel kan?" Tanya Reiza. Ia berpengalaman membawa motor berat milik Arzachel, sudah terbiasa. Namun nampaknya Jihan ragu akan kemampuan Reiza.

"Emang lo bisa?" tanya Jihan penuh keraguan.

"Kaki gue nyampe. Dan gue berpengalaman nyetir motor ninja punya laki gue." Jawab Reiza penuh percaya diri. Sebelum Jihan membalas ucapan Reiza, ia didahului Reiza menaiki motornya di depan.

"Ayo naik." Pada akhirnya Jihan menurut. Ia yakin Reiza tak akan membawanya ke rumah sakit karena kecelakaan. Ia percaya akan ibu peri Reiza yang kini menjelma sebagai ibu tiri.

Lepas dari parkiran, jalanan cukup lengang. Jam menunjukkan pukul sembilan. Motor melaju dengan kecepatan yang lumayan. Jihan kaget mengetahui kemampuan Reiza mengendarai motor berat. Ternyata Reiza sungguh-sungguh dengan ucapannya. Ia berpengalaman. Tapi dibawa ngebut gini mau tak mau membuat Jihan sport jantung. Ia jadi memikirkan kembali tentang rumah sakit.

"Reizaaaaaaa, jangan bikin jantung gue copot!!!" Jihan meremas kedua bahu Reiza cukup erat. Seumur-umur ia membawa motor ninja merahnya, bahkan dengan Faris, tak pernah ia membawa motornya dengan kecepatan lebih dari 110 kilometer per jam seperti yang dilakukan Reiza saat ini. Reiza benar-benar memanfaatkan jalanan yang lengang. Tak begitu banyak kendaraan yang lewat.

"Jangan pijit pundak gue! Pegangan ke pinggang gue!" Seru Reiza sedikit berteriak.

Namun pada akhirnya tangan kiri Jihan berpegangan erat pada jaket Reiza, sedang tangan kanannya tetap meremas bahu Reiza kencang.

"Gue belum mau matiiiiiii!!!!" Jihan berteriak melalui samping kanan.

Reiza tak membalas perkataan orang yang diboncengnya. Ia fokus mengendarai agar sampai apartemen dengan cepat.

***


Sesampainya di apartemen, lampu yang masih terang menyambut Reiza dan Jihan di ruang tengah. Reiza berfikir suaminya ada di kamar. Ketika langkahnya menuju kamar diikuti Jihan di belakangnya, kamar gelap terlihat. Reiza masuk dan menekan saklar, dan lampu menyala.

Benar saja, sosok Arzachel terlihat sedang tertidur pulas di ranjang. Selimut menutupi tubuh Arzachel sebatas perutnya, ia memakai kaos tipis putih berlengan panjang. Melihat sosok Arzachel, atau Jihan biasa memanggilnya Abe, mata Jihan penuh akan sarat kekaguman.

Teman sekelasnya saat kelas dua belas dulu kini berada di hadapannya. Ucapan Reiza saat di Café memang benar. Sosok Arzachel memang lebih tampan dari dirinya. Namun satu kekaguman Jihan saat ini, wajah Arzachel sama awet mudanya dengan Reiza, masih terlihat seperti anak SMA.

Reiza menghampiri ranjang dan tengkurap, jemarinya menyusuri wajah suaminya, menangkup kedua pipi Arzachel kemudian melumat bibir Arzachel. Yang dicium dalam tidurnya tak bergeming, bagaikan putri salju yang mati suri. Arzachel adalah orang yang susah dibangunkan ketika tidur, kalau nggak mau dibilang kebo. Tidurnya seperti orang mati, sangat tenang, jarang ada pergerakan. Ya persis seperti orang mati dengan wajah damainya.

YOURS 2 [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang