5. Stalker 2

607 40 1
                                    


     Jefri dengan emosi yang menggebu-gebu datang menghampiri City diatas panggung. Dari sana tampak wajah terkejut City melihat kehadiran Jefri yang tidak disangkanya.

     "Lo pikir gue bakalan percaya sama cerita busuk lo?" ujar Jefri sesampainya dihadapan City.

     City benar-benar lelah, dia mengira bahwa urusan mereka sudah selesai.

     "Asal lo tahu gue gak suka dipermainkan dan lo kasih alasan konyol atas semua kejadian yang jelas-jelas gue alamin. Sorry tapi gue gak bisa telan pembelaan lo mentah-mentah" ungkap Jefri sambil menggenggam kuat tangan City.

     "Bukannya saya jelas-jelas peringatkan kamu soal ini waktu itu? Saya gak segan-segan untuk teriak kalau kamu mau perkosa saya sekarang!" ancamnya dengan kesal.

     "Gue belum bisa nemu bukti yang konkret tapi lo orang yang paling dekat untuk dijadikan tersangkanya. Beruntung gue gak bawa kasus ini ke ranah yang lebih serius. Jadi, lo harusnya berterimakasih akan hal itu" jelasnya tanpa melepas genggamannya.

     "Mulai saat ini gue bakal ngelakuin apa yang lo lakuin ke gue. Biar lo tau rasa sakit seperti apa yang gue rasain supaya lo gak anggap gampang hal ini. I'll do fairplay babe (aku bakal main dengan adil sayang)?" sambungnya sambil menyeringai.

     "Lakuin saja saya gak takut" balas City.

     "Nice, cause I wanna have fun tho (Bagus, karena aku lagi pengen bersenang-senang). See you in my own game (sampai ketemu di permainan ku)" tuturnya yang tidak dipahami oleh City.

     Jefri akhirnya melepas genggamannya lalu pergi berjalan keluar dari aula. Sebelum benar-benar keluar dia berbalik sambil tersenyum puas akan wajah takut City saat ini. Senyumnya itu bagaikan singa yang puas setelah memakan mangsanya.

     City yang melihat itu diterpa perasaan takut, bingung dan khawatir semakin menjadi. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya setelah ini.

     Keesokan harinya....

     Sedikit mengandung adegan kekerasan (Bully)

    (City POV)

     Entah kenapa aku takut untuk melangkah masuk ke gerbang sekolah hari ini. Ancaman Jefri semalam membuatku tidak bisa tidur dan menikmati hariku. Tatapan mata murid-murid sekolahku saat aku berjalan masuk sangat berbeda dari hari-hari biasanya.

     Setelah kukumpulkan keberanian akhirnya kulangkahkan kakiku masuk ke kelas. Aku dengan cepat langsung duduk dan mendengarkan musik dengan headset-ku mencoba untuk tetap tenang.

     Belum selesai lagu kedua kudengarkan tiba-tiba kepalaku terpukul oleh sesuatu yang keras. Aku kaget dan tersadar bahwa aku baru saja dilempar tas tabung oleh salah seorang dikelasku.

     "Opps sorry, tangan gue licin" ujar Bella.

     Aku tahu dia berbohong. Dia pasti sengaja melakukannya.

     "Hari ini kan kita gak ada mapel seni lukis. Buat apa bawa tas tabung?" ujarku mencoba membuktikan bahwa dia sengaja membawa itu untuk mencelakaiku.

     "Urusannya sama lo apa? Terserah gue mau bawa atau enggak. Emangnya sekolah ini ada peraturan begitu? " ucapnya sambil melipat tangan dengan angkuh.

     "Mengganggu orang lain tahu gak" kataku mencoba sabar.

     "Gue kan udah minta maaf, lo mau bawa masalah ini lebih panjang lagi hah?"

     "Aku nggak ngerasa ada ketulusan dari permintaan maaf barusan" ucapku yang membuatnya kesal.

     "Oh begitu, jadi lo gak mau nerima permintaan maaf gue. Lihat saja nanti lo bakal lihat gimana pembalasan gue, awas aja lo kabur" ancamnya.

     Aku tidak menyesal sudah membela diri tapi ancamannya benar-benar menakutkan. Jujur aku tidak berani kemana-mana setelah mendengar ancaman itu. Rasanya banyak jebakan dan rintangan menungguku jika aku keluar dari tempat dudukku.

     Mungkin aku bisa aman sampai pelajaran ketiga sebab saat ini perutku terasa sakit. Aku butuh ke toilet secepat mungkin. Akhirnya dengan keberanian penuh aku berlari ke luar dan melakukan urusanku.

     Sesudah selesai, aku keluar untuk mencuci tangan. Baru saja selesai mencucinya tiba-tiba saja rambutku dijambak oleh dua orang baru keluar dari toilet. Aku tidak mengenal siapa mereka tapi firasatku mengatakan bahwa mereka pasti suruhan Bella. 

     "Sekolah ini benar-benar busuk" batinku.

     Semua anak berkuasa yang merundungku selalu memakai perantara untuk aksi mereka seperti pengecut hina.

     "Kalian pasti disuruh Bella kan?" tanyaku kesal.

     "Makanya jangan berani macam-macam. Anak beasiswa hitam seperti mu harusnya tahu diri!"

    Jambakannya semakin menjadi-jadi. Semakin kuat dan membuatku mulai pening. Tak cukup dengan menjambak, mereka malah menyiramku dengan air sehingga membuat sekujur tubuhku basah.

     "Lo pikir bisa lepas dari kita? Lo itu terlalu lemah makanya lo selalu ditindas!"

     Mereka mendorongku dengan kuat kedinding hingga badanku sakit dan kakiku pun lemas. Aku terduduk di lantai sambil menatap mereka berdua yang asik tertawa.

     "Jangan merasa sok hebat saat lo masih dibawah kita"

     Mereka pergi sambil tertawa bahagia dan menyisakan aku yang hanya bisa menangis setelah menerima perlakuan kasar mereka. Aku tidak percaya akan bisa bertahan melalui tahun-tahun di sekolah ini dengan baik.

     Sepulang sekolah....

     Aku berjalan lemas pulang ke rumah. Tawa Bella di parkiran saat aku pulang masih teringat jelas dikepalaku. Aku tahu tawanya itu untuk menyindirku.

    Sangking lemasnya badan dan kakiku berjalan, aku sampai tidak sadar seseorang sedari tadi mengikutiku dari belakang. Aku tersadar setelah sebuah mobil berhenti didepanku dan dari kacanya bisa kulihat orang itu sedang menatapku tajam.

     Aku pun mempercepat langkahku dan masih diikuti orang asing itu. Seperti kemanapun aku pergi dia akan mengikuti. Aku terlalu panik sampai-sampai aku lupa jalan ke rumahku sendiri. Pada akhirnya aku terjebak di lorong sempit yang jalannya buntu.

     Kulihat orang itu dengan ketakutan. Dia berdiri kira-kira 3 meter di depanku. Nafasku berpacu seirama dengan degub jantungku saat ini. Orang ini sangat menyeramkan seperti pembunuh berdarah dingin. Dia melangkah perlahan-lahan hingga jarak kami sekarang hanya satu meter saja. Kulihat dia memegang sesuatu ditangannya, seperti pisau. Aku mendadak merinding seperti seluruh darahku tiba-tiba beku.

"Kumohon jangan lakukan itu!"

.

.

.

.

.

.

Should we go next?

Stupid ConfessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang