22. Then Who?

225 14 0
                                    


Langit mendung dan udara yang dingin membuatku harus kemari memakai coat musim dinginku.

Sekarang aku sedang duduk di ruang kunjungan tahanan dimana aku sedang menunggu Alisa, penguntit Jefri.

Tak butuh waktu lama bagiku untuk bertemu dengannya. Kukira dia akan menolak bertemu tapi ternyata dia dengan senang hati menyambutku dengan duduk didepanku sambil tersenyum.

"Tak kusangka selain orangtuaku, anda akan datang kemari" ujarnya.

Dari awal aku mendengar cara bicaranya. Dia memang anak selalu formal pada orang lain. Tidak ada bahasa gaul yang dia gunakan dari dulu hingga sekarang.

"Aku datang bukan untuk menjenguk tapi aku datang untuk memastikan sesuatu".

"Menarik. Apa yang ingin anda pastikan?" ucapnya sambil memajukan badannya.

"Anda mengatakan tidak pernah menyangkut pautkan aku pada masalah anda saat meneror dia. Dan semua bukti yang mengarah padaku itu hanyalah kebetulan saja. Benar begitu kan?" tanyaku.

"Kenapa anda bertanya begitu? Apa ada sesuatu yang meresahkan anda?" tanyanya balik sambil tersenyum.

Aku tidak bisa membaca maksud senyum miringnya barusan padaku.

"Lima tahun lalu aku bertemu seseorang yang mengikutiku dan mirip seperti yang anda lakukan. Ada kesamaan yang saya temukan diantara kalian. Makanya saya ingin tahu apa orang itu adalah anda atau tidak?"

Dia benar-benar terlihat aneh dan mencurigakan sekarang karena setelah memundurkan badannya. Dia menatapku sambil memiringkan kepalanya perlahan.

"Anda datang padaku pasti karena anda tidak yakin siapa orangnya? Karena kalau anda yakin, pertanyaannya bukan itu tapi 'Mengapa anda mengikuti saya dan mengancam saya?' bukan begitu?"

Sudah kuduga ada yang aneh dengan tatapannya. Dia pasti akan mengatakan sesuatu yang bisa membuatku terdiam.

"Mengapa anda ingin bertemu dengannya? Bukankah dia tidak pernah mengganggu anda setelah kejadian itu?"

Tiba-tiba tubuhku merinding akan kebenaran ucapannya.

"Bagaimana anda tahu dia tidak pernah menerorku sejak saat itu?" tanyaku yang membuatnya tertawa keras.

Tawanya sangat lama dan nadanya keluar tidak karuan.

"Mengapa anda tertawa?" tanyaku geram.

Dia perlahan berhenti tertawa lalu menatapku tajam.

"Lucu sekali dia bisa menyukai orang bodoh seperti ini. Seharusnya dia bersama orang yang setara dengannya. Tapi untung saja dia sudah di Kanada, jadi dia tidak perlu repot memacari orang seperti anda lagi".

Sudah kuduga dia akan mencari celah untuk menjatuhkanku karena tidak mungkin dia menyambut kedatangan orang yang menjebloskan dia ke penjara.

"Anda ada benarnya. Tapi untuk apa saya menjadi cerdas hanya untuk berakhir di tempat ini. Seharusnya dengan kelebihan itu saya bisa mendapatkan tempat yang lebih layak bukan?" balasku.

Bisa kulihat sorot matanya berubah menjadi amarah yang tak terkendali.

"Anda seharusnya bersikap yang baik agar saya membantu anda bukan?" katanya sambil menggertakkan giginya.

Aku melipat tanganku lalu tersenyum padanya.

"Sudah saya bilang saya datang untuk memastikan sesuatu bukan berkunjung apalagi meminta bantuan anda" tawaku.

"Mau yang meneror saya itu anda atau bukan, tidak ada masalah sama sekali. Anda pikir sepenting apa anda sampai saya harus meminta bantuan anda?" sambungku yang mencoba memancingnya.

Stupid ConfessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang