29. Drowning

230 12 0
                                    

   
     "Jefri?"

     Aku sangat terkejut mendapati Jefri di hadapanku sekarang. Nafasnya tidak beraturan seperti habis lari tergesa-gesa. Sungguh sangat tidak mencerminkan dirinya sama sekali yang selalu tenang dan santai.

     "Ada yang mau aku bicarakan" ucapnya setelah menarik nafas panjang.

     "Bicara?" tanyaku gugup.

     Aku ingin mendengar apa yang ingin dia sampaikan. Tapi situasi dirumah sedang tidak aman dan aku tidak bisa pergi keluar dengannya begitu saja.

     "Mengapa dia datang disaat situasi seperti ini?" batinku.

     "Apa aku mengganggu waktumu?" tanyanya dengan wajah sendu yang sontak membuatku kaget. Sepertinya dia bisa membaca sikapku yang sedang tidak nyaman.

     "Bukan, bukan begitu. Masalahnya..."

     Belum selesai bicara, Papa datang dan berdiri di belakangku.

     "City, Siapa yang datang?" tanyanya  lembut.

     Tak lama bagi Papa mengenali wajah lawan bicaraku dan hal itu membuatnya terkejut sekaligus heran.

     "Jefri ada apa kemari?" tanya Papa. Ekspresi wajah Papa kembali berubah menjadi tegang.

     "Saya..." ucap Jefri namun terhenti karena menyadari kehadiran Damian di dalam rumah.

     Wajah Jefri berubah drastis. Dia terlihat marah sambil mengepalkan tangannya. Aku bertanya-tanya apa hubungan mereka berdua sampai Jefri emosi seperti ini. Aku harus bicara dengannya dengan cara apapun.

     "Reuni, reuni! Jefri datang mau kasih info soal reuni sekolah" ucapku setelah menemukan caranya.

     "Reuni? Kapan?" tanya Damian yang berdiri di sampingku.

     "Uhm... hari ini... Kayaknya?" balasku gugup.

     "Kayaknya? Kok ragu jawabnya?" sahut Papa.

     "Enggak kok, emang benar hari ini reuninya. Kelihatan ragu karena aku tadi baru ingat Pah" aku mencoba mengelak.

     Papa dan Damian saling pandang seperti mencoba menganalisa kebenaran dari ucapanku. Sejujurnya aku sendiri saja kalau diposisi mereka tidak akan bisa percaya dengan ucapan bodohku barusan.

     "Dia benar. Saya datang kesini mau menjemput City untuk datang ke reuni. Berhubung Paman disini saya mau meminta izin sekarang juga. Boleh saya bawa City pergi?" ujar Jefri tiba-tiba yang membuatku tersenyum.

     Padahal aku yang tadi mencoba menyelamatkan dia sekarang dia malah balik menyelematkanku. Ternyata dia ingin membuatku tidak terlihat menyedihkan didepan orangtuaku.

     "Begitu ya... Baiklah kalian boleh pergi."

     Wajah Papa mendadak berubah baik. Sepertinya dia mempercayai tipu muslihat kami berdua. Aku kagum dengan kehebatan image Jefri. Dia bisa membuat kebohongan konyol bisa menjadi kejujuran.

     "Walaupun sebenarnya kami masih ada urusan penting dengannya untuk dibahas tapi itu masih bisa diundur. City anak yang kurang bersosialisasi dan sepertinya ini bisa jadi kesempatan bagus untuknya membangun hubungan dan relasi. Siapa tahu kan disana dia bisa dapat pasangan hidupnya" goda Papa.

     Aku memukul pelan Papa karena malu. Bisa-bisanya orangtuaku membongkar hal seperti ini di depan mereka. Kurang bersosialisasi katanya? Memalukan.

     Aku otomatis melihat ekspresi wajah dua orang ini yang sedang menahan tawa.

     "Jaga anak saya baik-baik" ujar Papa sambil menjulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Jefri.

Stupid ConfessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang