9. Upset

365 26 0
                                    


     City POV

     "Kok udah langsung diam? Pertanyaan gue belum klimaks padahal" tambahnya.

     "Dasar licik" aku mengucap pelan seperti berbisik.

     "Bijak lebih tepatnya" balasnya dengan percaya diri. Ternyata dia mendengar umpatan yang kuucapkan barusan.

     "Lo pikir gue takut sama pertanyaan lo? Memang apa pertanyaan klimaks lo? Gue gak sabar pengen dengar" kataku mencoba menantangnya.

     Dia tidak terlihat gugup sama sekali dengan pertanyaanku. Dia benar-benar terlihat memang memiliki argumen dikepalanya tentang keluargaku. Namun anehnya dia memilih diam sambil menatapku.

     "Udah lupa. Nanti kalo udah ingat, gue tanya lo lagi. Biar lo tetap jantungan dan gemetaran kayak sekarang, asik banget lihatnya" ledeknya sambil tersenyum.

     Kalau bisa dibilang dulu senyumannya sangatlah meneduhkan hati. Tapi sekarang senyumnya bisa mengubah hari yang baik jadi hancur seperti kapal pecah. Aku benar-benar naik pitam setiap kali melihatnya.

     "Wah, aku tidak menyangka kehidupan keluargaku semenarik itu sampai membuatmu seorang Jefri repot seperti ini" balasku.

     "Sepertinya prasangkamu berlebihan. Kehidupan keluargamu itu tidak pernah masuk prioritas hidupku, sama sekali. Maaf sudah membuatmu salah sangka tapi aku melakukan ini hanya untuk memuaskan rasa laparku melihatmu menderita" balasnya seraya mendekatkan wajahnya sambil menyeringai.

     "Kau pikir wajah mu masih menarik buatku? Maaf tapi sudah lama namamu ku blacklist dari daftar manusia yang layak dianggap manusia olehku" kataku sambil mendorongnya.

     Dia tersenyum sinis mendengar perkataan ku. Bisa kulihat matanya saat ini menatapku tajam.

     "Gue gak yakin lo bisa blacklist gue seperti ucapan lo tadi. Jelas-jelas gue lihat mata lo mengatakan sebaliknya" dia kembali mendekatkan wajahnya dan kali ini aku gugup.

     Aku kehabisan kata-kata mendengar dia yang bisa tahu isi pikiran ku.

     "Mulut yang bicara bukan mata. Jadi, jangan sok tahu deh" kataku mencoba membela diri.

     "Lo lupa kalu mata itu media paling baik untuk mendeteksi kebohongan seseorang? Singkronasi antara mulut dan sorot mata bisa membuktikan seseorang sedang berbohong atau tidak."

     Aku sudah kalah telak sebab aku mulai menunjukkan ekspresi marah yang dari tadi didambakan olehnya.

     "Cepat banget kalahnya" sahutnya seraya menjauhkan kembali wajahnya.

     Aku tahu dia pura-pura tidak puas dengan kekalahan ku. Jelas-jelas senyumannya saat ini sangat lebar dan semangatnya terlihat bertambah dari sebelumnya.

     Kali ini aku akan membiarkannya menang dariku. Lagi pula tidak ada gunanya menang melawan orang kekanak-kenakan seperti dia.

*

     Setelah beberapa menit aku kembali fokus dengan kegiatanku. Tiba-tiba saja aku teralihkan dengan Jefri lagi. Tapi kali ini bukan karena dia menjahili ku atau apa. Melainkan pertanyaan tentang "bagaimana bisa seorang jenius dan teladan seperti dia dihukum?" Sangat tidak mungkin dia melakukan ini secara sukarela bukan?

     Tapi hal itu tidak menjadi urusanku lebih baik aku fokus pada kegiatanku. Hanya saja pikiran-pikiran jahil akan dirinya selalu menggangguku. Pikiran untuk menggetok kepalanya sekali saja untuk membalas sikap jahatnya selalu terbesit dikepalaku.

Stupid ConfessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang