21. Lost U

292 18 0
                                    


Aku berbaring nyaman ditempat tidurku. Langit kamar galaxy ku akan menemani tidurku malam ini. Namun saat mulai mengantuk, aku kembali teringat ucapannya yang sempat membuatku tidak percaya hal itu bisa terjadi.

"Dapatkah aku benar-benar mempercayainya?" batinku.

Falshback

"Lo mau tahu karma terbesar gue?"

"Karma?" tanyaku bingung.

"Karma terbesar gue adalah putri gue" jawabnya serius.

Aku hanya bisa terdiam kebingungan.

"Sewaktu gue pindah ke Kanada, disana gue ketemu sama psikolog. Gue tahu lo bakal terkejut mendengar ini karena siapapun bakal begitu. Tapi kalau boleh jujur, gue benar-benar kesana atas kemauan gue sendiri" tuturnya.

"Awalnya gue kesana karena gue kira gue udah mulai gila. Entah kenapa gue mulai ngerasa teror itu sebenarnya gak ada dan hanya halusinasi gue" sambungnya sambil menunduk.

Aku tidak bisa berkata-kata mendengarnya. Aku tidak menyangka dia mengalami itu dan melalui masa sulit itu sendirian.

"Selama terapi gue gak ngalamin perbedaan apapun. Gue malah semakin depresi dan gelisah. Dan itu menganggu gue setiap hari sampai suatu saat gue ketemu seorang pegawai magang ditempat itu" ujarnya sambil tersenyum.

Melihat senyumnya, tiba-tiba jantungku terasa ada yang menusuk secara perlahan.

"Kenapa dengan dia?" tanyaku mencoba menerka jalan pembicaraannya.

"Gue untuk pertama kalinya jatuh cinta dan orangnya ternyata diluar ekspektasi gue. Rasa gue tumbuh seiring berjalannya waktu kami bersama. Dia selalu dukung gue disaat gue mau nyerah, hilang kendali bahkan niat untuk..." dia berhenti sejenak sambil menghela nafas.

Sepertinya aku tahu lanjutannya tapi aku tidak mau memperjelasnya. Jadi dengan lembut ku elus pundaknya untuk membuatnya merasa tenang.

"Dan terapi gue membaik karena semangat yang dia tularkan ke gue. Tapi sayangnya dugaan gue kalau perasaan kami sama itu salah".

Aku menatap bingung.

"Kami terlalu sama, sampai gue ngerasa sedang bercermin ngelihat dia. Gue kira dengan banyaknya kesamaan yang kami punya akan menyenangkan tapi ternyata gue salah" jelasnya.

"Gue terlalu mendambakan dia sampai gue gak melihat bahwa sebenarnya gak ada masa depan diantara kami" balasnya sambil mengusap dahinya.

Aku berusaha tetap tegar mendengar kisahnya. Aku tidak mau bereaksi konyol seperti menunjukkan rasa cemburuku saat ini.

"Kenapa lo bisa berpikir kalian gak punya masa depan?"

"Karena dia udah buat masa depannya sendiri dengan orang lain" ucapnya yang membuatku menutup mulut.

"Gue kira semua perlakuan dia begitu spesial sampai gue lupa kalau dia cuma mengasihani gue gak lebih".

Aku bisa melihat tiba-tiba sorot matanya berubah.

"Dan putri gue yang menurut gue adalah kebanggaan buat gue ternyata bagi dia itu hanya kesalahan".

"Jangan bilang dia ninggalin anak kalian ke lo untuk bisa hidup bersama orang lain?" ujarku menyimpulkan yang membuatnya mengangguk pelan.

Tiba-tiba kakiku lemas sampi aku hampir saja terjatuh namun untungnya, dia memegangku dengan sigap.

"Lo gakpapa? Mau duduk?" dia menatap penuh kekhawatiran.

"Gak usah. Gue bisa berdiri kok".

"Bilang kalau lo mau duduk. Jangan jadi tumbang kayak tadi lagi" ungkapnya.

"Gue cuma gak habis pikir dengan cara berpikir ibu dari anak lo. Kenapa dia bisa hidup dengan pola pikir seperti itu?".

"Terus gue gimana? Gue itu sama kayak dia. Jadi itu artinya gue juga gak layak hidup?"

Aku bungkam seketika.

"Kami sama-sama salah. Kami yang masih terlalu muda dan bodoh saat itu tanpa paham keputusan kami sendiri".

"Sejak saat itu gue sadar kalau gue belum dewasa. Gue menyesal terlalu lama bermain dengan perasaan orang tanpa tanggung jawab sedikitpun. Dan hal ini adalah balasan ke gue atas semua perbuatan gue".

"Lo itu gak salah, kami yang salah".

Dia terdiam kaget.

"Kami salah karena terlalu egois dan serakah sama perasaan kami. Lo udah selayaknya gak perlu untuk tanggung jawab akan semua perasaan orang ke lo karena itu bukan hak atau kewajiban lo sama sekali"

Bisa kulihat matanya menatapku heran.

"Kami itu hanyalah orang yang tidak paham realita dari perasaan kami hingga kami hujani lo dengan sumpah dan buat lo menanggung rasa sakitnya sendirian" tuturku sambil memegang tangannya.

Dia menatap genggaman tanganku lalu mengelusnya dengan lembut.

"Dengar lo ngomong barusan, entah kenapa gue ngerasa lega dan senang tanpa alasan".

"Lo pantas dengar itu dan siapapun yang ada di posisi lo berhak untuk tahu hal itu" ujarku.

Dia melepas genggamanku lalu meletakkan tangannya di pipiku dan mengelusnya lembut sambil tersenyum.

"Setelah dengar kisah gue ini. Apa lo masih bersedia untuk lihat warna gue sebenarnya, yang gue pastikan gak bakal mudah untuk mewujudkannya?"

Dia menatap mataku sambil berharap jawaban dariku. Namun aku belum sepenuhnya yakin akan apa yang kuinginkan karena ini keputusan besar. Dia bukan lagi satu tapi dua.

Dan masalah bukan lagi warna kombinasi yang dimilikinya tapi warna lain yang mengelilinginya yang membuat aku susah untuk masuk sepenuhnya.

"Kasih gue waktu berpikir. Gue gak mau perasaan gue saat ini mengendalikan keputusan yang gue ambil" ucapku sambil menundukkan kepala.

Aku mencoba menghindari tatapannya agar emosiku tidak hilang kendali.

"Tenang saja gue gak akan maksa lo terlalu cepat untuk jawab. Ambil waktu selama yang lo mau" ujarnya lalu memelukku erat.

Saat merasakan pelukan hangatnya. Aku tiba-tiba teringat akan cinta pertamannya yang pastinya sudah lebih dulu merasakan ini dan melihat sisi lain dari Jefri yang biasanya dingin dan berbicara tanpa emosi sedikitpun.

Jujur aku malah merasa iri dan sedikit tidak percaya diri saat ini. Aku seperti tidak yakin akan diriku yang bisa lebih baik dari cinta pertamanya.

Flashback Off.

_____

Aku terbangun dari mimpi burukku setelah sebelumnya aku terlarut dalam ingatan akan Jefri sebelum tidur.

Entah kenapa tadi aku bermimpi akan orang yang pernah membuntutiku saat aku masih SMA dulu.

Orang itu adalah salah satu misteri yang belum bisa kupecahkan dan selalu menghantuiku sampai sekarang.

Saat kucoba menenangkan diri tiba-tiba Alisa terlintas di kepalaku. Aku teringat akan jaket yang kami temukan dirumahnya yang sangat mirip dengan jaket orang yang membuntutiku waktu itu.

Tapi bukankah dia mengatakan kalau dia tidak pernah melibatkan aku dalam perbuatannya. Dan aku ingat dia bilang semua bukti yang mengarah padaku hanya kebutulan semata.

"Lalu, bagaimana bisa mereka memiliki jaket yang sama? Apa ini hanya kebetulan saja atau jangan-jangan ada penguntit yang lain diluar sana sedang mengintaiku?" batinku.


Long time no see...
Hope you enjoy reading this chapter. See you on next chapter:-)
Love
Authornim~

Stupid ConfessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang