14. Awas Kau, Jerry!

577 89 21
                                    

Chapter 14 ==> Awas Kau, Jerry!

Dipublikasikan: 16 Juli 2019
©DeraiAksara

🌌

Empat kompor minyak tanah telah berjejer rapi di depan kelas. Hari ini kami akan melakukan praktik memasak untuk mengambil nilai Pendidikan Keterampilan. Aku dan timku yang terdiri dari Kelvin, Jessyca, Aulia, dan Nickyta. Kami akan membuat mi goreng. Hahaha ....

Aku mengeluarkan sebilah pisau yang kubawa dari sarung kayunya.

"Mak, Zul, ko nak bunuh orang?" celetuk Aulia.

"Zuli alih profesi. Dia Jadi pembunuh berdarah dingin." Kelvin turut menimpali.

Aku mengacungkan pisauku ke depan wajah, seperti seorang perawat yang mengeluarkan suntik. Kemudian pisau itu kuhadang tepat di depan mereka. "Jangan macam-macam sama Profesor Insinyur Doktor Zuli Yanandra Sarjana Hukum, atau nyawa kalian akan terbang! WUAHAHA ...." Aku tertawa keras seperti film yang menampilkan peran seorang psikopat.

Oke, oke. I knew, those title didn't exist, but up to me. Hehe.

Tiba-tiba kurasakan leherku terikat. Rupanya, si Kelvin sedang memasukkan leherku ke lingkaran dasinya, lalu dasi itu ditarik kuat-kuat, sehingga aku merasa tercekik.

"Letakkan pisaumu itu, atau nyawamu akan terbang berkelana mengelilingi Indonesia Raya yang merdeka saat vacum of power karena Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu! Wuahaha !!!!" Kelvin meniru ucapanku tadi. Kini, perhatian satu kelas teralih pada kami.

Aku meletakkan pisau di atas meja. "Woy, Vin, lepas! Ditengok satu kelas, malu, 'Ok."

Kelvin mengerling ke setiap sudut kelas. Sejurus kemudian, Kelvin membebaskan belitan dasinya pada leherku.

"Apa kalian tengok-tengok? Aku tahu, lah, aku ganteng."

Serempak, penghuni kelas 8.A Olimpiade menyoraki Kelvin.

Jessyca dan Nickyta mencuci bahan-bahannya.

Aulia dan aku sibuk mencincang sayuran yang telah mereka cuci dan beberapa hiasan untuk di atasnya, misalnya sosis dan bakso. Sementara itu, Kelvin ... ah, dia tengah bermain perang-perangan bersama Gilang menggunakan kuali yang dibawanya.

Usai memotong semua bahan-bahan, kami segera mulai acara bergelut dengan kompor.

"Vin, kualinya!" teriak Nickyta kepada Kelvin yang kini tengah memegang sapu sebagai pedang.

Kelvin berjalan ke arah empat meja terdepan di barisan ketiga (gabungan empat meja itu ialah tempat kami meletakkan alat dan bahan yang digunakan untuk memasak) dan meletakkan kuali besarnya di sana. Begitu pemantik api kuhidupkan dan bersiap untuk membakar lidi, Kelvin merebutnya dariku. Hampir saja wajahku tersulut api.

Kelvin yang mengambil alih. Dia menghidupkan pemantik api, membakar lidi, lalu lidi yang sudah menyala itu didekatkannya ke sumbu-sumbu yang sudah diatur hingga naik ke atas. Setelah sumbu terbakar merata dan tungku kompor sudah diletakkan, aku menaruh kuali di atasnya, disusul oleh Aulia yang menuangkan sedikit minyak.

Selepas minyak panas, kami mulai menumis cabai giling. Cabai giling ini sudah ada bawangnya, jadi tidak perlu ditambahkan lagi.

Setelah dirasa cabainya matang, kami mulai memasukkan sayuran yang sudah diiris kecil-kecil, dua butir telur, sosis, dan mencampur mereka menjadi satu. Langkah selanjutnya, mi kuning yang telah dipotong pendek-pendek, kami masukkan ke dalam kuali. Terakhir, daun bawang. Mi goreng siap disajikan.

Kelvin menambahkan irisan timun sebagai hiasan.

Keningku berpeluh akibat setengah jam berdiri di depan kompor yang menyala. Sirup merah campur biji selasih --kami menyebutnya telor kodok-- yang dibawa Nickyta dari rumah, menggoda imanku.

Karena dahaga yang tak tertahankan, akhirnya aku menuang sirup yang masih di dalam teko itu ke salah satu gelas plastik berwarna senada. Segera kutuyung, menyisakan setengahnya saja.

"Siapa yang buat sirupnya, Nick?" tanyaku.

Nickyta menoleh. "Mamak aku yang buat."

Sirup yang Nickyta bawa memang sudah dibuat dari rumah. Kami hanya perlu menumpang kulkas Budhe kantin untuk menjaga sejuknya.

"Zul, apa, tu?" Jerry yang bukan anggota kelompok kami, entah untuk kepentingan apa dia datang kemari.

"Darah," jawabku." Ya, sirup, lah."

Mata Jerry berbinar-binar. "Wih ... sedap nampak. Bagi, lah."

Aku melengos. Ish, wajahnya itu ..., "Ambek sendiri, lah. Tu gelasnya." Aku menunjuk tumpukkan gelas plastik merah di samping teko sirup.

Bahu Jerry merosot. Wajahnya berubah sendu. "Aku maunya yang itu." Ia menunjuk gelas yang tengah kugenggam.

Tak ingin berdebat lebih lama dengan adiknya Tom yang satu ini, aku akhirnya menyerahkan gelasku yang masih berisi. Setelah menyodorkan untuk Jerry, kakiku melenggang sedikit lebih ke depan, ke tempat Kelvin yang masih berkelut dengan kompor. Ternyata anak itu sedang membuat telur mata sapi.

"Untuk apa, Vin?"

"Untuk hiasan mi-nya, lah. Masa' cuma timun," jawabnya, ketus.

Kelvin goblok! Kenapa tidak menggoreng telurnya dulu, baru mi? Kalau mi-nya dulu yang digoreng, kan, telurnya jadi terkena bekas cabai yang ada di kuali.

"Zul, ni air ko."

Aku memandang gelas yang Jerry sodorkan. Tidak ada perubahan terhadap kuantitas sirupnya.

Oh, tidak, tidak. Ada. Air sirupnya berkurang, tetapi hanya sedikit.

Aku menatap Jerry dengan tatapan curiga. Pasti dia memasukkan pelet ke sirupku. Dia pikir aku ikan, apa?!

Tanganku meraih gelas yang ia sodorkan. Tanpa babibu lagi, aku langsung meneguk sirup tersebut.

Uhuk!

Aku tersedak.

Jerry tertawa seraya berlari ke luar kelas

"Jerry ...!"

Jerry mengangkat tinggi-tinggi bungkus minuman instan serbuk rasa sirsak. Rupanya air sirup yang kuminum ini dicampur serbuk sirsak.

Awas kau, Jerry!

🌌

Kelas OlimpiadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang