Chapter 03 ==> Ngacak, Lah!
Dipublikasikan: 20 Juni 2019
©DeraiAksara🌌
Wali kelas 8.A Olimpiade sudah duduk di kursi kebesarannya. Wali kelas kami bernama S. O. Simangunsong dengan gelar S. Sos. Jadi kalau diikutkan gelarnya, menjadi begini: S. O. Simangunsong S. Sos. Atau jika diinisialkan, menjadi: S. O. S. S. Sos..
Kalian paham?
Sama, aku juga nggak.
Jangan tanya S. O di depan marganya itu apa. Karena kami juga tak tahu.
Pak Mangunsong menatap kami dengan tatapan tajam. Guru yang satu ini memang bukan guru BK tapi garangnya melebihi guru killer.
Pak Mangunsong masih merekam setiap jengkal wajah kami agar mudah dikenali.
Krik.
Pak Mangunsong menatap barisan pertama dari pintu.
Krik.
Beralih ke barisan kedua.
Krik krik.
Kini barisan ketiga.
Krik ... krik ... krik ....
Sekarang matanya ke barisan keempat (ini adalah barisanku).
"Aaaaaa ...!"
"AAAAA !!!!"
Satu kelas teriak heboh.
"Hei, kenapa kau, Kelvin?" bentak Pak Mangunsong.
Aku mengikuti pandangan mata Pak Mangunsong. Oh, ternyata Kelvin adalah manusia tak kasat mata yang duduk di bangku paling belakang bersama Gilang, masih satu deret denganku.
Pak Mangunsong sudah mengenal Kelvin. Katanya Kelvin dahulu ialah siswa di kelas 7.G, kelas yang pelajaran IPS-nya dipegang oleh Pak Mangunsong. Sedangkan sebagian besar murid kelas 8.A O berasal dari kelas 7.A (termasuk aku) yang pelajaran IPS-nya diajari oleh Bu Aida. Wajar, kan, aku tidak mengenal Kelvin, tetapi mengenal Gilang? Gilang dulu murid 7.A.juga.
"Anu, Pak, anu."
"Apanya yang anu-anu?"
Semuanya hening untuk beberapa saat. Tiba-tiba, "Pak, Kelvin anu-anu saya," adu seorang perempuan yang duduk di barisan samping Kelvin. "Dia lempar jangkrik ke saya, Pak."
Pak Mangunsong menghela napas. "Sudahlah! Buang anu kau itu, Kelvin."
"Anu apa, Pak?"
Pak Mangunsong menggebrak meja. "Anu kau yang kau anukan ke kawanmu itu."
Aduh, Pak, jangan sering-sering gebrak meja. Takutnya saya yang ko'it nanti, Pak, gara-gara jantungan.
Kelvin memunungut jangkrik yang kini berada di lantai. Lalu ia berjalan ke luar kelas untuk membuang jangkrik itu.
"Bapak ini sebenarnya tak mau marah-marah lagi," ungkap Pak Mangunsong. "Bapak mau berlembut-lembut dengan kalian."
"Mau menikmati masa tua, e, Pak."
Aku mengerling ke belakang, ke asal suara. Suara itu berasal dari seorang siswa yang duduk di depan Kelvin (kalau nggak salah namanya Jerry, dari kelas 7.F).
Berani sekali dia.
"Oke, hari ini kita akan mengadakan pemilihan perangkat kelas." Suara Pak Mangunsong memecahkan lamunanku.
"Siapa yang kira-kira mau kalian calonkan jadi ketua kelas?"
Semuanya diam.
Ini baru hari ketiga, Pak, kami belum mengenal karakter teman-teman kami. Bagaimana kami akan memilih ketua kelas yang bertanggung jawab?
"Jadi siapa?" ulang Pak Mangunsong.
Akhirnya, wali kelas 8.A Olimpiade banjir usulan.
Setelah diam lumayan lama, Pak Mangunsong mengambil sebuah keputusan, "Kita undi Viona dan Andi."
Viona adalah siswi yang berasal dari kelas 7.E. Aku mengenalnya karena dia juga merupakan anggota OSIS. Sedangkan Andi, teman sekelasku -7.A-.
"Voting kita lakukan secara tertutup."
Kami semua serempak mengoyak kertas dari buku kami. Kertas itu akan kami gunakan untuk memgundi mereka.
"Viona calon pertama, Andi calon kedua. Tulis angka satu di kertas kalianjika memilih Viona, kemudian angka dua jika kalian berpihak kepada Andi."
Voting dimulai.
Tak perlu waktu lama, perhitungan akan dilakukan. Zahra maju ke papan tulis, sedangkan aku ke meja guru tempat kertas-kertas hasil voting ditampung.
10 menit perhitungan dilakukan.
Hasilnya adalah:
Viona = IIIII IIIII IIIII I
Andi = IIIII IIIII IIIIIOke, ternyata satu suara memang sangat berharga, lebih dari apa pun. Sudah tahu, kan, siapa pemeangnya?
"Siapa yang mau jadi sekretaris?" tanya Pak Mangunsong.
Windy mengacungkan tangan di saat orang lain menunduk. Alhasil, Windy lah yang jadi sekretaris.
"Sekarang bendahara. Siapa yang mau jadi bendahara?"
Ini sesi yang paling tidak kusukai dari sesi mana pun. Ujung-unjungnya pasti aku yang ditunjuk teman-teman laknat ini. Aku berani bertaruh untuk itu.
Ah, udah kayak kutukan turun-temurun aja dari SD.
"Zuli, Pak."
"Zuli aja, Pak."
"Zuli sama Zahra, Pak."
"Zuli, Zuli."
"Zahra, Pak, Zahra."
"Zuli Yanandra, Pak."
"Azzahra Noor Firanti, Pak."
"Zuli bendahara OSIS, Zahra bendahara kas."
Brak!
Aku menggebrak meja. Tentu saja tidak kuat, bisa hancur aku.
"Zuli, Zula, Zuli, Zula," cibirku. "Capek tau nagih-nagih kalian. lya kalau kalian mau bayar, kalau nggak?"
"Kalau kami tak mau bayar, ko yang bayarin lah!" celetuk salah seorang yang belum kukenali.
"Ngacak, lah! Kalian pikir aku mesin pencetak duit?!"
🌌
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelas Olimpiade
Humor[Humour Series 1] (TAMAT) ⚠️Peringatan! Beberapa chapter mengandung sensitivitas yang tinggi. Harap jangan dimasukkan ke hati dan kepala, abaikan saja 🙏 "Masa putih-abu adalah masa yang paling indah." Pikir-pikir lagi, deh. ________________________...