Chapter 19 ==> Jawablah dan Pergi!
Dipublikasikan: 5 Agustus 2019
©DeraiAksara🌌
2 Januari 2018.
Murid-murid dari jenjang pendidikan SD, SLTP, dan SLTA se-Tanjungpinang sudah akan masuk sekolah hari ini.
Aku berdiri mematung di gerbang utama sekolah.
Tidak, tidak. Bukan seperti di sinetron yang pemerannya termenung di gerbang sekolah, melepas rindu setelah libur berabad-abad.
Aku membatu karena ...
... inikah sekolahku?
Aku tahu sekolah ini milik pemerintah, bukan milikku. Maksudku, inikah SMP tempat kutimba ilmu selama satu tahun enam bulan? Inikah?
Pagar sekolah yang awalnya menjulang tinggi dengan ujung diberi asesori runcing, yang dapat dibuka-tutup dengan cara dorong-tarik, kini gerbang itu menjelma menjadi setengah lebih pendek dengan ujung datar dan dapat dibuka dengan cara digeser, seperti pagar yang ada di perumahan.
Mataku beralih ke sayap kiri. Tempat itu dulu adalah lapangan kecil, kini berubah menjadi sebuah bangunan panjang dan pos jaga.
Oke, sekolahku tadinya memiliki empat lapangan. Lapangan bawah dibagi menjadi lapangan yang paling besar, terdapat tiang bendera, dibatasi dua anak tangga, kemudian ada lapangan lagi (yang sekarang jadi pos jaga dan bangunan panjang). Di lapangan atas ada lapangan yang lumayan luas, di sana juga ada tiang bendera, kemudian dibatasi tujuh anak tangga, ada lapangan yang lebih kecil lagi, letaknya di depan majelis guru.
SMP-ku ini adalah gabungan dari dua SD satu atap, yang dijuluki SD kembar. Setiap SD memiliki dua lapangan. Satu yang paling besar, tempat segala kegiatan berlangsung, satunya lagi yang lebih kecil. Jangan heran, ketika kedua SD itu digabung menjadi satu SMP, SMP-nya jadi memiliki dua lapangan yang bertiang bendera.
Mataku beralih ke sayap kanan.
Wow! Bangunan tiga tingkat untuk murid kelas sembilan sekarang telah berdiri kokoh. Uh, pasti menyenangkan berdiri di lantai tiga, apalagi sekolahku terletak di dataran rendah, tapi tinggi.
"Woy, awas!"
Seseorang membuatku berjengit. Aku menoleh ke belakang.
Ya Tuhan, cobaan apa ini?
"Awas," katanya sembari menatapku sinis.
Aku melihat kiri dan kanan. Dan, yah ... aku menghalangi orang-orang ingin masuk ke pekarangan sekolah.
Sialnya, tubuhku malah membeku di situ, tidak bergerak sedikit pun.
"Woy! Punya telinga? Awas!" gertaknya lagi.
Seolah tersadar, aku balas menatapnya dengan tatapan tidak suka.
Lama aku memelototinya. Akhirnya, aku mengalah. Aku berjalan mendahului anak itu. Aku tak mau melihat ke belakang.
Sesampainya di kelas, aku mematung lagi di depan pintu kelas, karena teman sekelasku mencegat.
"Halo, Zuli," sapa Lovely.
"你好," sapaku balik.
(Nĭ hăo = Halo)Ya, ya, ya. Aku tak menyukai drama Korea, tapi aku keranjingan drama China. Hohoho ....
"Rinduuu sama Zuli," Chindy menyahut dari bangkunya, kemudian berjalan mendekati kami yang sedang di ambang pintu.
"Haha ... jangan berdramatis gi–"
Brak!
Aku, Lovely, dan Chindy melihat ke belakangku.
Lelaki yang menggebrak pintu adalah lelaki yang sama, yang tadi di gerbang utama.
"Woy! kelas orang ni!" seru Lovely, tak terima pintu kelas kesayangannya dipukul-pukul tanpa alasan yang jelas.
"Mau kelas orang ke, kelas jin ke, aku tak peduli!" sahut laki-laki itu. Kalau tidak salah, dia adalah salah satu murid kelas 8.B Atletik. Uh, kelas sebelah memang begitu. Aku tahu mereka atlit, tapi tak perlu pamer otot, kan?
"Terus ko maunya macam mana?" ringas Chindy.
Laki-laki di hadapan kami mengembus napas kasar. "Kalau kalian jantan, baku hantam kita," katanya seraya berlalu menuju kelasnya yang terletak di sebelah kelas kami.
"Tunggu dulu!"
Dia berhenti.
"Kalau gitu, kita adu otak aja, gimana?" tanyaku seraya tersenyum penuh arti ke Lovely dan Chindy.
Dia tampak berpikir sejenak sebelum berkata, "Oke."
Kini kami telah duduk di dalam kelas kami, 8.A Olimpiade. Kelas yang tadinya memantulkan suara kami, kini mulai redam karena penghuninya mulai memadati ruangan. Beberapa bertanya-tanya, ada perlu apa anak kelas sebelah (baca: 8.B Atletik) yang notabenenya adalah musuh kami, datang dan duduk di tengah-tengah kami.
"Oke, satu pertanyaan dan ... mudah," ujarku.
Lovely mengusap-usap kedua telapak tangannya seperti ingin membuat suasana menjadi semakin panas. "Sebutkan hasil dari log seribu."
Chindy dan aku masih menatap laki-laki itu yang sekarang tengah menciptakan seni kerutan jidat.
Chindy bersedekap. "Hanya sebutkan, tak perlu dijabarkan."
"Ya, walaupun jawabannya tidak memiliki penjabaran, karena terlalu mudah, seperti dua kali dua." Aku melanjutkan.
Ya, aku tahu. Dua kali dua pun dapat dijabarkan. Tidak mungkin, kan, dua kali dua sama dengan empat, tanpa penjelasan darimana asal muasal dua kali dua sama dengan empat, kenapa tidak lima?
Namun, untuk kasus dua kali dua, anak SD pun tahu jawabannya empat tanpa harus mencorat-coret kertas segala.
"Kalau ko bisa jawab dengan tepat, ko boleh mengungkapkan kekesalan ko ke kami. Oke, mungkin tak cukup, ko boleh suruh-suruh kami selama dua hari. Tapi kalau ko tak bisa jawab, silakan pergi dari sini." Chindy menambahkan.
"Meski taruhan ini tak imbang, tapi oke, lah," timpalku.
Tidak imbang, kan? Kalau dia berhasil menjawab dengan tepat, kami bertiga akan jadi babunya selama dua hari, tetapi kalau dia tidak bisa menjawab dengan benar, dia boleh pergi ke kelasnya dan mengikuti pelajaran dengan tenang. Sangat tidak impas.
Lama dia menunduk, sebelum akhirnya keluar begitu saja dari kelas kami.
Sesaat, kami bertiga bersitatap kebingungan. Detik berikutnya, tawa membeludak dari mulut kami. Dia pasti tidak bisa menjawab, tapi malu mengakuinya.
Padahal itu soal logaritma yang paling mudah. Jawabannya ialah tiga.
🌌
KAMU SEDANG MEMBACA
Kelas Olimpiade
Humor[Humour Series 1] (TAMAT) ⚠️Peringatan! Beberapa chapter mengandung sensitivitas yang tinggi. Harap jangan dimasukkan ke hati dan kepala, abaikan saja 🙏 "Masa putih-abu adalah masa yang paling indah." Pikir-pikir lagi, deh. ________________________...