38. Tiga Orang Tidak Naik Kelas.

265 48 29
                                    

Chapter ==> 38. Tiga Orang Tidak Naik Kelas.

Dioublikasikan: 14 Juni 2020
©DeraiAksara

🌌

AUTHORNOTE harus dibaca, ya :)

.

Pertempuran kami dengan kertas kotak-kotak selama kurang lebih seminggu sudah berakhir. Seharusnya sekarang class meeting. Class meeting apanya, kelas aja nggak punya!

Kelas 8.A, 8.B, 8.C, dan mungkin kelas lain yang masih pakai bangunan lama, sedang mengosongkan kelasnya, karena akan direnovasi. Sekarang kelas kami kosong melompong, meja-kursi dah nggak ada, jam, pengharum ruangan otomatis yang suka nyemprot muka orang sembarangan, spidol, penghapus papan tulis, semuanya sudah bermutasi ke meja Pak Mangunsong yang ada globe-nya. Pokoknya kalau kalian ke majelis guru sekolah kami, terus jumpa meja yang sudutnya ada globe plus belakangnya digantung macam-macam jenis atlas, itu pasti meja Bapak S. O. Simangunsong, S. Sos..

Mau duduk lesehan di kelas, pun, rasanya bu ke neng le, sebab kelas ini berdebu akibat serpihan-serpihan plafon. Hilang sudah predikat kelas bersih tahun 2018/2019. Selain itu, pintu pembatas antara 8.A dan 8.B dibuka, jadi tambah malas di kelas.

*cari di gugel translate arti bu ke neng le.

Dan akhirnya, koridor laboratorium jadi pilihan. Anak 8.B? Bodoamat, lah, mereka nangkring di mana.

"Zul, aku tengok ige Siddhart, kan, badannya kotak-kotak, euy!" cetus Dita, dengan suara agak keras. Maklum, di depan kami sedang ada konser dadakan. Mereka nggak malu apa, ya, ditengok adik kelas, ditengok kawan seangkatan, gilanya kumat begitu?

"Dah balik dia ke India hee, India haa, India hee, India." Bacanya harus pakai nada Ashoka.

"Dih, apaan India hee, mending Korea, lah!" Ini Djulia yang ngomong. Zahra lagi joget sama kawan-kawannya sesama kepoper, jadi tak dengar pembicaraan kami.

Mendengar ucapan Djulia, Jerry cepat-cepat mengangkat bungkus makaroni pedas yang isinya sudah ludes. "Ini apa, Zul?"

"Plastik?" jawabku, sedikit ragu. Namun, sepersekian detik kemudian, aku mengerti arah pertanyaan Jerry. Dengan lantang aku teriak, "PLASTIK!" Jerry dan aku tertawa terpingkal-pingkal.

Sepertinya akan ada perang antara sekte India hee, dan Korea yo.

Maap, ya, Oppa, aku khilaf.

"Hey!" Suara berat yang sudah kami kenali itu memutuskan lelucon akhlakless kami. Riky yang daritadi mengajari Rehan cara nyusun rubik yang cepat, juga berhenti.

"Ada tiga orang yang tak naik kelas." Satu kalimat tujuh kata dengan 12 suku kata itu membuat mata kami semua hampir copot.

"Ti--tiga orang, Pak?" tanya Febi dan Tiara, serentak.

"Tak naik kelas?" Itu Windy sama Chindy. Kayaknya mereka memang ditakdirkan bersama, kaget aja sama-sama.

"Iya, tiga orang."

Kami menatap satu sama lain. Masa' iya ada yang tinggal? Bukan, aku ragu bukan karena predikat kelas kami yang katanya unggulan. Tapi menilik nilai mereka semua dari semester tiga sampai UTS semester empat, aman-aman aja. Pun, kelakuan kami depan guru, nggak bejat-bejat amat, lah.

Kelas OlimpiadeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang