Chapter 2

517 86 5
                                    

Terima kasih sudah mampir dan menetap^^

Happy reading~

•••••

Sahabat kecil adalah orang yang paling tau dalamnya kita. Seburuk apa pun itu.

•••••

Sore hari telah tiba bersamaan dengan warna langit yang mulai berubah menjadi jingga. Akhirnya aku keluar dari rumah sakit tempat di mana aku dirawat selama beberapa minggu. Dua puluh menit perjalanan menuju ke rumah, aku nggak pernah sekali pun membiarkan pandanganku beralih menatap yang lain selain jalan raya yang ramai.

Ada rasa senang tersendiri yang aku rasakan saat melihat orang-orang berlalu-lalang bersama teman-temannya, saudaranya atau bahkan bersama keluarganya. Ayah, ibu dan anak. Satu keluarga yang lengkap.

Berbeda sekali denganku yang kelihatan seperti nggak mempunyai teman dekat, yang apa-apa selalu pergi sendirian. Menyedihkan. Tapi aku nggak begitu peduli. Bagiku, mempunyai waktu untuk diri sendiri adalah kebahagiaan yang jarang orang lain dapatkan. Meski kesepian resikonya.

"Non, bagaimana keadaan kakinya?"  tanya Bibi yang menoleh ke arahku.

Aku menunduk, menatap sepasang kaki yang sebelah kirinya diperban. Berjalan pun sedikit susah karena harus menggunakan bantuan tongkat. Namun aku bersyukur, kata dokter kakiku akan pulih dalam waktu dua hari. Setelah dua hari dan perban dibuka, masa sekolah sudah kembali dimulai.

"Nggak apa-apa kok, Bi. Nanti aku jalannya pelan-pelan."

"Beneran Non nggak apa-apa? Bibi lihat kaki Non kelihatan sakit banget. Serius sudah membaik, kan?"

"Beneran kok, Bi. Kakiku beneran udah membaik." balasku menyakinkan.

Memang rasanya nggak sakit, cuma sedikit perih dan ngilu saat digerakkan. Kalau disenggol atau nggak sengaja terbentur sesuatu mungkin akan sangat terasa sakitnya. Tapi tentu saja aku berusaha menghindari apa pun yang berpotensi mengenai kakiku supaya kakiku bisa pulih sesuai dengan waktu yang sudah diprediksi oleh dokter. Rasanya kangen berjalan-jalan santai tanpa memikirkan rasa sakit yang menjalar di sepanjang kakiku.

"Ayo! Bibi antar ke kamar kamu." ucap Bi Iyem yang membantuku berjalan ke kamar.

Kamarku dipindahkan ke lantai 1 untuk sementara waktu sebab kakiku masih belum kuat untuk memijak anak tangga yang jumlahnya banyak hingga ke lantai 2. Beruntung Bibi mengerti kondisiku dan menyediakan kamar di lantai bawah yang memiliki satu jendela, meski mengarah ke samping rumah. Namun nggak apa-apa, aku masih bisa melihat sinar matahari yang menyorot kamarku kelak.

Seandainya kecelakaan itu nggak terjadi, aku nggak mungkin seperti ini. Bayang-bayang itu selalu menghantuiku, rasanya sangat ... menyakitkan.

"Kenapa ya kalo naik bianglala itu menyenangkan?"

"Karena naiknya sama aku."

"Ih! Bukan gitu kamu mah!"

Aku yang kesal cuma bisa memanyunkan bibir seperti moncong bebek. Sebal karena sikap teman rumahku yang menyebalkan. Setiap malam minggu, dia selalu mengajakku pergi ke pasar malam yang rutin diadakan tiap seminggu sekali.

Jarak pasar malam dari rumah juga nggak jauh. Nggak sampai 2 km. Akan terasa lebih cepat kalau ditempuh menggunakan sepeda motor.

Rizal atau yang biasa kupanggil Ijal, tetangga sekaligus teman terbaikku cuma tertawa saat menatap wajahku yang cemberut. Cowok itu selalu menggodaku kapan pun dia mau. Itu menyebalkan! Terlebih Ijal nggak bakalan minta maaf kalau aku nggak marah.

Buku Catatan Melati [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang