Chapter 14

195 58 2
                                    

Terima kasih sudah mampir dan menetap^^

Happy reading~

•••••

Sepanjang perjalanan ke arah rumah teman Ken, kami bertiga nggak ada yang ngobrol. Lebih tepatnya aku yang memilih diam. Ken mah dari tadi sudah menggoda Selina. Mereka berdua kalau sudah ketemu nggak akan pernah akur dan diam. Pasti ada saja yang diributkan. Heran.

Karena perjalanan masih lumayan jauh, aku memilih menatap ke luar jendela. Melihat hilir mudik yang ramai. Kebetulan aku duduk di bangku belakang dan dekat jendela sehingga nggak bakalan ada yang ganggu kalau lagi menatap luar.

Suara seseorang terdengar dari radio di mobil Ken. Terdengar halus dan mengalun indah. Penyiar radio tersebut terlalu basa-basi menurutku. Belum lagi sesi curhat yang nggak ada habisnya. Aku lebih suka saat penyiar radio memutar lagu. Lebih terasa.

Dan benar saja.

Belum ada lima menit setelah pikiranku itu, sebuah lagu sudah mengalun indah mengisi mobil yang tiba-tiba hening. Aku semakin menikmati setiap makna lirik dari lagu tersebut. Lagu yang mengingatkanku pada seseorang.

Semesta bicara tanpa suara
Semesta, ia kadang buta aksara
Sepi itu indah percayalah
Membisu itu anugerah

Seperti hadirmu di kala gempa
Jujur dan tanpa bersandiwara
Teduhnya seperti hujan di mimpi
Berdua kita berlari

Semesta bergulir tak kenal arah
Seperti langkah-langkah menuju kaki langit
Seperti kenangan akankah bertahan
Atau perlahan menjadi lautan

Seperti hadirmu di kala gempa
Jujur dan tanpa bersandirwara
Teduhnya seperti hujan di mimpi
Berdua kita berlari

Shit. Kenapa lagunya seperti ini.

Aku memilih diam sambil terus menyelam dalam lagu yang disiarkan radio. Tanpa sadar kalau mobil Ken sudah memasuki sebuah perumahan yang besar.

"Ken, temen lo siapa namanya?" seru Selina. Aku menoleh, menatap ke arah mereka yang duduk di depan. Kulihat Ken menyunggingkan senyum kecil tanpa menjawab.

Penasaran sih tapi kalau Ken nggak mau kasih tahu aku bisa apa.

"Namanya Dewa. Temen SMP gue."

"Cakep nggak? Apa kayak anak baru di kelas sebelah?"

"Siapa? Renzi?" tanya Ken membelokkan mobil ke kiri dan berhenti di depan sebuah rumah yang cukup besar. Ken membunyikan klakson dan satpam rumah segera membukanya. Ken memberi senyum dan mengucap terima kasih. Dia memarkirkan mobilnya di perkarangan rumah temannya. "Nggak jauh beda sih, sebelas dua belas lah."

"Masa?" seruku.

Kalau didengar dengan seksama, sebelas dua belas artinya nggak jauh beda. Bisa saja beda sikap doang dan sedikit di wajahnya.

"Beneran," Ken membuka pintu mobil dan turun. Begitu pun denganku dan Selina. Kami berjalan bersisian menuju pintu utama.

Setelah menekan bel dua kali, pintu utama terbuka lebar. Kami disambut oleh sosok cowok yang kelihatan baru bangun tidur. Wajah bantal dengan rambut berantakan, sesekali bahkan dia menguap. Aku mengerjap, menatapnya tanpa bersuara. Wajah cowok itu nggak asing di indra penglihatanku. Apa aku pernah melihatnya sebelumnya?

"Eh, elo Ken. Masuk dah." serunya.

Kami pun masuk ke dalam rumah teman Ken yang belum diketahui namanya. Dia mempersilakan kami duduk di sofa ruang tamu sementara dia memanggil kakaknya di atas. Ternyata dia adalah adik dari teman Ken.

Buku Catatan Melati [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang