Chapter 10

224 67 0
                                    

Terima kasih sudah mampir dan menetap^^

Happy reading~

•••••

Saat itu juga, untuk pertama kalinya aku menangis. Semua yang kubendung sejak lama tumpah ruah di hadapannya. Dia berhasil merobohkan benteng pertahanan yang selama ini aku bangun kuat-kuat. Hanya dengan kalimat-kalimat sederhana, dia bisa menyadarkan aku betapa pentingnya menangis. Aku nggak pernah mau menunjukkan sisi lemah di hadapan siapa pun. Tapi bersamanya, aku menjadi diri sendiri.

"Eh?! Eh kok nangis?!" serunya panik.

***

"Eh, gue nggak mau ya lo nangis gini." dia terus membujukku. Padahal aku cuma menangis. Entah kenapa rasanya jadi sedikit lega.

Namun kurasa bukan karena aku menangis dia kelihatan panik. Masalahnya kami lagi ada di pinggir jalan, nanti kalau orang lain lihat bisa mikir yang macam-macam. Wajar saja sih, tapi perkataan dia barusan memang benar. Aku boleh menangis kapan pun aku mau.

Aku nggak boleh pura-pura kuat di hadapan khalayak. Aku juga manusia, punya porsi kesedihan masing-masing.

Kenapa sih dia selalu tahu apa yang aku alami.

Apa selama ini dia tahu sebab bisa membaca kepribadian seseorang hanya dari melihatnya saja? Ah ... mana mungkin!

Dia nggak kelihatan seperti itu. Kurasa cuma kebetulan saja dia bilang begitu padaku. Yah, semua orang memang punya caranya sendiri buat menasihati orang lain.

Aku menatapnya, menghapus sisa-sisa air mata yang mulai mengering di kedua pipiku. Pasti wajahku memalukan sekali. Namun melihat wajahnya yang panik menimbulkan desiran aneh di dalam dadaku, seolah ada yang memberontak kalau kata-katanya barusan masuk akal sekaligus menyindir.

"Lagian ish! Nyebelin."

"Apa, sih? Kok nyebelin? Gue nggak ngapa-ngapain lo malah nangis."

"Lo resek!"

"Apa lagi? Masa gue yang disalahin." dia mengelak, "Lo yang nangis masa gue yang salah."

"Pokoknya salah lo!"

"Egois, deh." dia tertawa kecil. Aku membulatkan kedua mata, menatapnya penuh sebal.

"Diem!"

"Udahlah nangis aja." serunya terkekeh pelan. "Kalo nangis lo jadi diem. Kalo gini kan gue salah mulu mau ngapa-ngapain juga."

"Gara!" kesalku. "Nyebelin banget sih!"

"Lah ... Lah ..." dia tertawa lagi, kali ini lebih leluasa. "Lo kenapa sih? Tadi nangis tiba-tiba, nggak jelas penyebabnya apa. Sekarang malah bilang gue nyebelin terus padahal gue nggak ada buat apa-apa."

Aku memanyunkan bibirku, dia benar. Tapi tetap saja rasanya menyebalkan dibikin nangis nggak jelas, malah di pinggir jalan. Nanti orang-orang yang lewat bakalan lihat kami aneh. Apalagi mataku yang sembab sehabis nangis. Ish! Pokoknya dia nyebelin.

"Oke! Oke!" katanya menahan tawa. "Kalo gue ada salah, gue minta maaf. Tapi serius, gue malah nggak tau salahnya di mana."

"Mau es krim." seruku memelas.

Buku Catatan Melati [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang