"Udah ah, jangan nangis lagi."
Dia menghapus air mataku dengan jemarinya. Sambil mengusap-usap kedua pipiku, dia tersenyum sangat manis. Kelihatan sangat tegar. Sementara aku masih saja melirih saat tahu bahwa kami nggak bisa bersama.
"Mau aku anter sekarang?"
Aku mengangguk pelan.
"Ayo!" ajaknya menuntunku. "Jangan galak-galak sama Gara, ya. Kasian."
"Ih!" desisku. "Kata siapa aku galak?"
"Kamu kan emang galak, Ra."
"Nggak!" ketusku.
"Tuh! Galak, kan."
"Ih! Nyebelin!"
Dia tertawa renyah.
Semenjak aku menangis tadi, dia kembali hangat. Meski pada kenyataannya kami tetap berpisah.
"Ayo aku anter ke tempat Gara. Maaf ya harus melepas kamu seperti ini."
"Apa sih kamu!" desisku. "Jangan terus minta maaf. Apalagi kamu nggak salah."
Dia tersenyum sangat lebar. Untuk kesekian kalinya, aku merasa bersyukur bertemu dengannya meski akhirnya aku harus kembali berpisah. Nggak ada yang tahu bahwa hatiku masih saja menjeritkan namanya tiap kali kami akan melepaskan genggaman.
Tiap hati yang memilih pergi sudah dipastikan akan menemukan penggantinya yang lebih baik. Masalahnya hanya ada pada waktu. Kita nggak bisa meminta cepat, atau kita bakalan merasakan hal yang sama untuk kedua kalinya.
"Sana, samperin." kata Ijal saat kami tiba di belakang rumah.
Di sana sudah ada Gara. Cowok itu asik duduk di sebuah bangku panjang berwarna coklat tua, dia membelakangi kami. Di depannya sudah ada beberapa cemilan yang sebagian masih utuh. Sementara dirinya lagi menengadah ke atas, berharap sore itu menjadi pertanda baik untuk dirinya.
Pun denganku. Aku selalu berharap semua akan berakhir baik. Meski aku tahu, siapa pun yang terluka pada akhirnya akan mencoba mengikhlaskan. Nggak ada yang bisa memaksa atau kami akan terluka lebih dalam lagi.
"Aku ragu,"
"Ragu apalagi sih, Ra? Udah sejauh ini, masa kamu mau balik?"
"Kamu beneran nggak apa-apa?"
Dia terkekeh pelan, sekali lagi dan terakhir, dia mengacak rambutku asal. "Harus berapa kali aku bilang sama kamu, Ra? Aku nggak akan kenapa-napa kalo harus melepasmu dengan Gara."
"Aku ... cuma takut."
"Nggak ada yang perlu ditakutin lagi, Ra. Jalanin aja kayak biasanya. Kamu harus tenang, kuat dan menerima segalanya."
"Makasih, ya."
"Apa pun untuk kamu." balasnya beranjak meninggalkanku.
Sekarang di belakang rumah cuma ada aku berdua dengan Gara. Lidahku kelu sekali, kakiku terasa berat. Memandang dari jauh saja rasanya sudah sangat sakit. Bagaimana kalau aku mendekatinya?
Tapi, dia nggak akan pernah marah. Gara adalah laki-laki tersabar ketiga yang pernah aku kenal. Pertama, tentunya Papah. Meski aku sering memaki dalam diam, beliau selalu sabar menghadapi sikapku yang semena-mena. Kedua, jatuh pada Ijal. Cowok itu selalu sabar. Meski akhirnya dia harus melepasku. Ketiga, adalah cowok di depanku. Dia tersabar yang baru kutemui lagi. Bagaimana ada orang yang rela disakiti berulang kali padahal sadar bahwa dia bisa saja mati bersama perasaannya.
Kakiku gemetar saat melangkah mendekat kepadanya. Alih-alih senang, aku malah takut.
Takut kalau kenyataannya, dia juga ingin melepasku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Buku Catatan Melati [Complete]
Fiksi Remaja( harap follow lebih dulu, biasakan apresiasikan karya seseorang ) Melati Adeswara adalah perempuan kuat yang selalu tersenyum dalam menjalani kehidupannya. Melati tak pernah mengeluh kepada orang lain atau pun Tuhan yang sudah menciptakannya. Hid...