Chapter 9

235 67 2
                                    

Terima kasih sudah mampir dan menetap^^

Happy reading~

***

Aku beneran sudah nggak sabar nunggu kedatangan Gara. Cowok itu berjanji akan pergi bersamaku menggunakan sepeda. Kalau dipikir-pikir memang aneh sih, dia mengajak aku jalan tapi aku minta naik sepeda. Kenapa ya? Aku juga nggak tahu kenapa kepengin banget naik sepeda.

Rasanya seperti sudah lama nggak menikmati kota bising dengan mengendarai sepeda. Biasanya aku selalu naik motor, mobil, atau kendaraan umum.

Lebih baik memang mengayuh sepeda. Rasanya badan semakin bugar, sehat dan nyaman. Meski keadaan kota sangat berbeda jauh dengan desa. Tapi kalau dipikir lagi, naik sepeda di desa pun banyak rintangannya. Apalagi jalanan desa kebanyakan yang belum diaspal, jadi jalanan yang ditempuh cukup terjal.

Meski begitu ... udaranya sangat segar. Kalau diizinkan untuk pergi ke desa lagi, aku pasti mau banget. Saat masih kecil dulu, Mamah selalu ngajak pergi ke desa setahun sekali. Kami selalu liburan bareng meski cuma ke daerah pedesaan. Tapi beneran deh rasanya enak banget. Beda sama kota-kota besar yang terkenal tapi banyak polusi.

Saat asik melamun, seseorang menepuk pundakku dari belakang. Aku menoleh dan menemukan dia di sana, dengan senyuman manisnya.

"Udah lama?"

Aku mengerjap-kerjap, menatap Gara dari atas sampai bawah. Pakaiannya lengkap, mulai dari alat pelindung di lutut, siku sampai helm. Berbeda sekali denganku yang nggak pakai pelindung apa pun. Memang sih, kenyamanan orang beda-beda.

"Dih, malah bengong." dia tertawa menatapku.

"Safety banget." balasku terkekeh, "Apa daya gue."

"Lo juga safety kok."

"Nggak, lah." balasku mengelak. Aku beneran nggak safety sama sekali. Dia ini memang suka aneh dan pikirannya sukar ditebak.

"Mau ke mana nih kita?" tanyanya saat kami mulai mengayuh sepeda membelah kota di sore hari.

Keadaan kota nggak beda jauh dari biasanya, masih macet. Tapi entah kenapa kali ini terasa sangat sejuk. Apa karena aku yang mengendarai sepeda dan nggak menimbulkan polusi? Kalau benar begitu, lebih baik mulai besok orang-orang suruh pakai sepeda saja. Biar jalanan lengang juga.

"Keliling kota aja." kataku, sedikit nggak masuk akal. Karena bukan lagi kelelahan, kami pasti seperti habis lomba bersepeda sebab kota nggak sekecil di peta.

"Serius?" tanyanya nggak yakin. "Emang kamu kuat?"

"Hah?" aku meliriknya sebentar, lalu kembali fokus ke depan. "Kamu siapa?"

"Iya, kamu. Melati. Masa orang lain,"

Aku tertawa tanpa bisa ditahan. Jadi dia memanggilku dengan kata 'kamu' yang menggema aneh di telingaku. Bagi sebagian orang itu hal wajar dan terdengar menyenangkan, tapi entah denganku. Rasanya berbicara pakai aku-kamu sama dia itu agak beda karena biasanya aku cuma ngomong aku-kamu sama Ijal.

"Seriously? Lo manggilnya kamu?"

"Emang kenapa si?" kesalnya. "Lagian manggil kamu doang dipermasalahin."

"Bukan dipermasalahin, agak aneh aja di kuping."

"Yaudah! Yaudah!" dia menyerah.

Kami kembali melanjutkan perjalanan keliling kota. Entah keliling bagaimana yang kumaksud, kalau memutari satu kota pasti beneran jauh banget. Lagi pula kan buat jalan-jalan sore saja. Nggak harus jauh-jauh.

Buku Catatan Melati [Complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang