Gadis yang dikaruniai paras yang sangat cantik. Iris berwarna coklat, rambut panjang berwarna coklat, kulitnya yang seputih susu. Hidung mancung, serta bibir berwarna pink alami. Satu kata? Sempurna. Itulah yang menggambarkan sosok dari Amara Calistha. Mungkin, secara fisik gadis itu sempurna tanpa celah. Namun, tidak dengan kehidupannya. Amara bahkan tidak tahu, bagaimana kehidupan yang sempurna itu.Mobil hitam itu berhenti di pekarangan rumah yang bahkan bisa dikatakan sudah seperti istana. Sangat megah! masih, dengan seragam sekolah yang melekat pada tubuhnya, gadis yang duduk di bangku kelas XI itu berjalan memasuki rumah. Lagi-lagi keheningan yang menyambutnya. Semua orang pasti ingin berlomba-lomba tinggal di rumah yang sudah seperti istana ini. Tapi, untuk Amra dia lebih baik ingin tinggal di rumah yang sederhana saja.
Rumah semegah itu hanya ditempati oleh Amara serta para pekerja rumah saja. Gadis itu tertawa sendu, dia merasa heran dengan papahnya. Untuk apa membuat rumah semegah ini? Jika, papahnya saja jarang sekali pulang. Pria itu sudah berbulan-bulan menetap di negri orang, karena urusan pekerjaan.
"Non Ara sudah pulang," sapa Bi Ina, ART yang bekerja paling lama di rumah ini.
Amara hanya tersenyum tipis."Mau makan siang, Non?" tawar Bi Ina.
"Nanti aja, Bi."
"Atau mau bibi siapkan air untuk mandi?"
"Ara bisa sendiri, Bi. Ara mau tidur, capek." Bi Ina hanya menatap sedih punggung anak majikannya itu yang berlalu menaiki tangga.
"Nyonya, bagaimana cara mengembalikan senyum Non Ara," gumam Bi Ina.
Bi Ina adalah saksi dimana rumah ini pernah begitu hagat, sekaligus saksi dimana Amara pernah tertawa lepas dan terseyum manis. Tapi, sejak kejadian itu semuanya lenyap.
《《 ●○●》》
Harum aroma lavender menyeruak ke dalam indra penciuman Amara, kala gadis itu membuka pintu kamar. Kamar yang bercat setengah putih dan setengah hitam itu begitu luas. Amara sadar dia sempat merasakan bahagia walau hanya sesaat. Maka dari itu, dia menorehkan sedikit warna putih di dinding kamarnya.
Mata indah gadis itu menatap satu bingkai foto yang berisi dirinya bersama kedua orangtuanya. Ibu jari gadis itu, ke arah foto wajah sang ibu.
"Apa kabar, mah? Ara kangen banget sama mamah," lirih gadis itu. Kedua sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah senyuman. Senyuman yang jarang sekali diperlihatkan.
"Andai, Ara tau kalau hari itu mamah akan pergi. Ara, pasti nyegah mamah untuk berangkat," bulir air mata turun begitu saja tanpa diminta.
"Maafin Ara, mah." Tangis gadis itu pecah. Rasa rindu kepada sang malaikat tanpa bersyap itu begitu dalam. Sudah tujuh tahun dia hidup tanpa kehadiran sang ibu, rasa rindu yang sudah tidak bisa dibendung, rasa rindu yang tidak pernah tersalurkan, rasa rindu yang hanya bisa dia pendam dan berakhir menjadi tangisan.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMARA STORY [Slow Update]
Teen FictionAmara Calistha, kini tumbuh menjadi sosok gadis mandiri namun susah diatur. Sejak, kejadian tujuh tahun yang lalu, seolah semuanya terenggut. Hidupnya, dunianya hingga senyum manisnyapun seakan lenyap. "Untuk apa aku tersenyum, jika alasan senyumku...