First Level (02/10)

54 3 0
                                    

02

Aku banting tubuhku diatas ranjang, aku sudah didalam kamar, luasnya mungkin sepuluh kali lima karena aku tidak pernah ukur tepat luasnya. Kamar ini didominasi abu-abu dengan interior modern -atau mungkin kelewat modern- bahkan permukaan meja experimen juga layar-sentuh. Aku masih ingat berapa bulan yang lalu saat aku masih SMP, setiap ada waktu luang kuhabiskan di meja itu. Banyak yang telah kulakukan disana, seperti menyusun ulang komponen listrik, percobaan kimia, sampai menciptakan percobaan terkait robot seukuran nano atau lebih sering disebut nanobot yang  kumodifikasi agar saat terpapar sinar nuklir partikel sinarnya akan diperkecil lagi oleh nanobot hingga menyebabkan kerusakan seukuran nano yang lebih dekstruktif.  Penemuanku mungkin bisa dimanfaatkan oleh NASA saat bumi terkena hantaman meteor lagi. Ibu pernah cerita, saat ia masih remaja, meteor akan menghantam bumi, untungnya bisa diatasi NASA yang telah menyadarinya beberapa tahun sebelumnya dengan cara menembakan sinar nuklir-terfokus dari bumi. Selama berbulan-bulan meteor itu baru hancur menjadi batuan-batuan yang lebih kecil sehingga hanya menyebabkan hujan meteor kecil dan gelombang pasang di samudra pasifik. Meskipun menimbulkan korban di Oceania, setidaknya tindakan NASA mencegah terjadinya kiamat. Jika purwarupaku dibuat dalam skala besar, maka semua benda yang akan menghantam bumi akan hancur menjadi abu, atau mungkin lebih kecil dari abu dalam waktu yang lebih singkat, sehingga bumi akan terus aman dari serangan benda angkasa apapun.

Aku sudah meletakan koper didalam lemari saat tiba kesini, membiarakan robot dalam lemari itu mengidentifikasi baju mana yang harus dilipat lalu dimasukan kedalam lemari, dan mengidentifikasi benda-benda asing untuk diletakan diatas meja. Setelah setengah jam proses identifikasi sudah selesai. Kulihat di meja terdapat medali perak dan tiga benda lain sebagai oleh-oleh untuk teman-temanku. Mantel coklat LED sintetik yang bisa berubah warna untuk Clyde, jam tangan hologram - yang bisa menampilkan proyeksi hologram- untuk Axel, terakhir ada kalung dari mutasi mutiara hitam yang bisa mengidentifikasi emosi untuk Debby. Menurut artikel yang kubaca, bila orang yang memakainya melihat atau berhadapan didepan orang yang ia cinta, maka kalung itu akan berubah menjadi bening sehingga berlian merah berbentuk mawar dalam mutira hitam itu akan terlihat. Aku harap dapat melihat berlian merah itu tentu saat debby berhadapan didepanku.

Sebenarnya aku masih lelah, tapi karena aku sudah tidur di pesawat dan selama perjalanan dari bandara, kini aku tidak bisa tidur lagi. Kuputuskan kerumah Clyde untuk mengantar oleh-oleh. Aku mengeluarkan NC-ku, mencari di galeri sebuah pola kotak untuk membungkus mantel itu. Saat kurasa kotak hijau ini cocok, aku kirim foto itu ke Printer tiga dimensi di kamarku, dalam sekejap printer itu beroperasi. Mungkin sekitar sepuluh menit kotak itu selesai, dan selama itu pula aku mengganti baju menjadi sweater merah dan celana hitam.

Aku keluar dari kamarku, menuruni tangga, lalu kulihat ada empat orang bermantel biru navy sedang duduk di ruang tamuku. Aku yakin mereka adalah pekerja instansi pendidikan seperti ibuku dari mantel biru mereka, meski aku tidak yakin apakah mereka guru, pemilik universitas, dosen, ilmuan, atau peneliti. Kini semua pekerja berjabatan tinggi di empat instansi tertentu memiliki pakaian dinas berupa mantel berwarna berbeda. Warnanya dibagi berdasarkan dimana instansi mereka bekerja, instansi politik dan hukum mengenakan mantel berwarna kuning, coklat, atau jingga. Instansi keamanan mengenakan mantel anti peluru sepinggang berwarna hitam, dan Instansi sosial memakai mantel hijau gelap. Aku pernah dengar instansi kesehatan direncanakan berbaju dinas ungu, namun hal itu dibatalkan dengan alasan mantel putih dokter adalah mantel paling sesuai untuk instansi mereka.

Aku masih berdiri di tangga dan heran tentang tujuan mereka disini. Tiba-tiba ibu masuk keruang tamu sambil membawa nampan berisi lima cangkir teh biru dan semangkuk kue kubus. Perlahan kuturuni anak tangga menuju pintu utama untuk segera pergi.

"Sheen, kesini sayang! Itu Sheen anak saya bapak-bapak."

Saat ibu memanggilku, langkahku berbelok menuju ruang tamu. Aku duduk disamping ibu, lalu meletakan kotakku dilantai. Empat pria itu duduk rapi berbaris di bagian sofa yang lebih panjang karena sofa ini bentuknya 'L'. Mereka berempat berpenampilan rapi dengan rambut klimis, dua orang yang duduk dekat ibuku memiliki wajah lokal dan berambut hitam pekat. Orang pertama memakai kacamata, sedangkan sebelahnya tidak. Orang ketiga berambut pirang dan pria ke empat diujung sofa sana berambut ungu gelap.

OBLIVIOUS (Dunia Ratusan Tahun Dari Sekarang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang