First Level (10/10)

20 2 0
                                    

10

Dihari pertama kelas sebelas, Pak Dimas masuk ke ruang kelasku lalu mengumumkan bahwa dia wali kelas disana sekaligus membawa seorang siswa baru. Dari fisiknya kuyakin ia orang Jepang. Wajah anak itu terlihat angkuh dengan mata tajam, kulitnya putih langsat khas asia timur dengan rambut hitam kehijauan.

Dia memperkenalkan diri tanpa motivasi atau semangat. Saat itu kutahu namanya Senji, Senji Takami. Kudengar ia pindah ke Skybridge dengan alasan tidak betah disekolah lamanya, ia menyerahkan berkas kualifikasinya, dan akhirnya diterima disini dari ratusan siswa yang mengajukan pindah sekolah.

Saat ia melintas disamping mejaku, terasa aura mengerikan seakan bisa membunuhku kapan saja. Sialnya dia duduk tepat dibelakangku, meski kelas ini hanya dipakai saat pelajaran matematika, tapi aku tak ingin aura horrornya selalu menggangguku sepanjang peajaran.

"Oke, hari ini saya akan kembali menyegarkan otak kalian dengan materi matematika yang sederhana, bagaimana dengan kalkulus?" Ucap Pak Dimas. Tentu kami mengeluhkannya, seisi ruangan terlihat tidak termotivasi belajar hal itu.

"Maaf, Pak Dimas. Kalkulus? Di hari pertama?" Keluhku dengan santainya. Sejak awal bertemu dengan Pak Dimas, hubungan kami semakin baik bagai teman. Ia seakan mempunyai jalan pikiran yang sama denganku, dan serunya ia selalu terhibur saat aku mulai berdebat dengannya.

"Hei! Meski nilai matematikamu bagus, setidaknya kurangi kebiasaan mengeluhmu di kelasku." Jawab Pak Dimas menunjuk kearahku.

"Maaf, Pak. Sepertinya hal ini perlu persetujuan kami juga. Terlebih komunikasi yang baik antar siswa dan guru adalah prinsip yang selalu anda suarakan. Jika Bapak membatasi aspirasi kami, bukankah itu cukup bertetangan dengan prinsip anda? Terlebih mereka juga sependapat dengan saya, dan suara kami sudah menang secara kuantitas, jadi saya ingin tau bagaimana keputusan anda?" Aku berapi-api, kulihat teman-teman sekelas juga terhibur dengan debat kami. Sebenarnya ini tidak benar-benar sungguhan, aku hanya menunjukan keakraban kami, namun jika tawaranku dipenuhi, tentu itu jauh lebih baik.

Pak Dimas menurunkan jarinya, jelas dia kalah. "Baiklah, kau menang. Silahkan kalian pilih apa yang ingin kalian pelajari hari ini." Dia berhenti sejenak, dan kami bersorak gembira. "Tapi ingat, saya hanya bekerja disini. Dipertemuan selanjunya, kalian harus mengikuti materi yang sudah ditentukan." Sambungnya.

"Saya rasa kami mengerti." Ucapku.

Seisi kelas senang dengan situasi yang kubuat, hampir semua kecuali Senji. Ia bahkan tak tersenyum, seakan kami semua terlihat aneh dimatanya. Aku heran padanya, kalau ia tidak suka disini kenapa memilih pindah kesini. Kurasa alasan dia pindah bukan karena ia tidak betah disekolah lamanya, tapi justru seisi sekolah yang tidak betah bersamanya.

-----

Setelah melewati sepekan, akhirnya hari minggu datang juga. Aku butuh relaksasi sehari penuh, terlebih setelah kepala sekolah mengejutkan kami dengan peraturan baru dinas pendidikan. Karna itu mulai tahun ini setiap siswa wajib memilih satu dari tiga opsi mata pelajaran ekstra yang nantinya dijadikan salah satu ujian kelulusan. Pilihannya antara lain: Kriminologi, Retorika & Kritisi media, dan Seni (Tari, Musik, dan drama). Tiga mata pelajaran itu dipilih berdasarkan kebutuhan negara yang kekurangan sumberdaya profesional di tiga bidang tersebut. Sebagian besar sistem pengajarannya dilakukan dengan metode praktek, baik dikelas maupun simulasi virtual.

Hal yang paling membuatku terkejut adalah, kepala sekolah mewajibkan siswa sudah menentukannya senin ini, tepat esok hari. Itu sebabnya hari libur ini aku hanya bisa berkeliling kota sendirian, mengendarai mobil listrikku untuk mencari ilham. Tidak ada tujuan kemana, dua jam aku hanya berkeliling kota menatap sisi jalan. Kupikir pelajaran seni akan banyak dipilih, karena banyak orang berpikir seni itu mudah, namun sayangnya orang itu bukan aku. Aku sepertinya cocok dengan Retorika Kritisi Media, namun Kriminologi sepertinya juga menarik. Aku hanya memerlukan motivasi untuk memilih dua hal itu, semoga pilihanku tidak menyusahkanku.

Edith dan Clyde, kupikir mereka memilih seni. Debby, Axel, dan Lucas, mereka pasti Retorika dan Kritisi media. Apa mungkin aku juga memilih itu? Memilih Retorika dan Kritisi media mungkin dapat membuatku lebih dekat dengan Debby, serta memperbaiki hubungan pertemananku dengan Lucas dan Axel?

Diluar hujan turun, langit sore pun sudah tak terlihat lagi karena tertutup awan hitam. Aku menambah kecepatan mobilku dan melaju lurus tanpa hambatan, hingga aku menghentikan mobil mendadak saat ibu tua lusuh menyebrangi jalan. Dia sangat terkejut, lalu melanjutkan jalannya sambil menantapku benci.

"Dasar orang kaya, kalian pikir hidup kami tidak ada nilainya?" Ucap ibu itu samar kudengar terhalang suara hujan. Ibu itu lalu pergi ditengah hujan kedalam lorong gelap diantara dua gedung besar.

Aku menjalankan lagi mobilku meneruskan perjalanan. Aku sedih, sangat sedih, saat dunia sangat modern dan dimudahkan perkembangan teknologi, namun sepertinya kemudahan itu tidak berlaku bagi semua orang. Biaya hidup di negeri ini memang sangat mahal, namun ini isu klasik yang ironisnya pemerintah belum punya sosusi yang progresif mengatasi fenomena ini. Kasus kemiskinan, terorisme, dan hal buruk lainnya seakan tidak ada habisnya.

Semakin lama, semakin luas juga mobilku menyisir jalan ditengah hujan. Sekarang aku terhenti karena lampu lalulintas kini merah, terlebih ini akan memakan waktu dua ratus detik. Mataku mencari hal menunggu waktu itu habis, untunglah ada berita pada layar besar disalah satu gedung disana. Pemberitaan terus membahas tentang Disaster dan aksi terornya. Berita ini terus diberitakan akhir-akhir ini, hingga buatku kesal. Media hanya menyorot berita yang tinggi rating, namun minim menyorot realita sosial yang justu dekat di masyarakat. Masyarakat seakan hanya terfokus pada Disaster yang beraksi jauh diluar negeri sana, tanpa melihat kondisi yang mungkin ada didepan rumah mereka. Masyarakat miskin, kesenjangan sosial, dan ketidaksetaraan pendidikan adalah bagian kecil yang seharusnya tersorot dan dapat fokus serius. 

Lampu sudah hijau, kulanjutkan perjalananku yang tak bertujuan ini. Langit mulai gelap, hujan tersisa gerimis kecil, kemudi kuarahkan menuju komplek rumahku namun melewati jalan yang tak pernah kulalui. Sepanjang jalan dipenuhi toko-toko dan taman kota yang tidak terawat, mungkin karna ini bukan jalan utama. Aku lihat ada kerumunan aneh di taman itu, saat kulihat lagi ternyata itu pengeroyokan. Kubelokan mobil untuk masuk ke taman, dan saat tiba disana kerumunan itu bubar melarikan diri meninggalkan satu orang yang jadi korban. Aku turun dari mobil dan mendekatinya. Aku panik saat kulihat korban begitu tak asing. Kupastikan lagi dan benar ia Senji. Aku menghampirinya dan spontan menanyakan kondisinya. Lirih dia bilang tidak apa-apa, dan memintaku mengantarnya pulang. Aku membantunya masuk kedalam mobil, membawanya pulang meski tak tahu itu dimana.

"Senji, dimana rumahmu? Apa sebaiknya kita ke rumah sakit?" Tanyaku panik saat menyetir.

"Tidak, bawa aku ke Windcoated, apartemen lantai 38." Jawabnya lemas. Wajahnya lebam, mata kiri hitam, dan darah terus keluar di sudut bibirnya. Ia selalu memegangi perutnya entah dipukul atau mungkin ditendang pada area itu.

Aku baru mengenalnya sepekan, dia selalu membuatku tak nyaman dengan aura pembunuhnya, tak kusangka ia didalam mobilku sekarang dengan keadaan seperti akan terbunuh. Aku baru saja naik kelas sebelas, mengapa harus diawali dengan hal tragis seperti ini.

OBLIVIOUS (Dunia Ratusan Tahun Dari Sekarang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang