Prejudice (23/30)

14 2 0
                                    

23

Hujan seakan tidak mau berhenti. Sudah pukul 10 malam, namun sama sekali tidak ada tanda-tanda hujan akan reda. Petir semakin bergemuruh membelah gelapnya malam. Kini aku dan ibu berada di kamar tamu. Sebelumnya, Saat kami berkumpul untuk makan malam, Ibu Clyde memaksaku dan ibu untuk menginap saja disini karena hujan tidak kunjung reda. Aku dan Ibu berinisiatif ingin meminjam payung saja, karena rumah kami hanyalah beberapa blok. Tapi ibu Clyde benar-benar memaksa kami untuk menginap, jadi terpaksa kami turuti tawaranya.

Aku dan ibu sudah memakai piyama yang ada didalam lemari kamar tamu ini. Piyama ini sangatlah lembut, selembut warnanya yang biru pastel. Saat kami sedang mengobrol di dalam kamar, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Saat kubuka ternyata Clyde datang untuk mengajakku tidur dikamarnya. Kubilang aku mau saja asalkan ia bilang pada ibuku. Saat Clyde ingin meminta izin, ternyata Ibuku sudah menguping sejak tadi dibelakangku. Aku sedikit terkejut, lalu ibu mengizinanku tidur dikamar Clyde.

Kami menaiki tangga menuju kamar Clyde. Sungguh aku kesal melihat Clyde tidak memakai piyama seperti yang kupakai sekarang, dan dengan santainya Clyde bilang kalau piyama yang kupakai ini terlalu feminim, sehingga dia tidak mau memakainya. Sekarang dia hanya memakai kaos dan celana pendek untuk tidur. Aku sadar ibu Clyde sangat mendominasi seluruh rumah ini, tidak terkecuali piyama di kamar tamunya.

Aku masuk kedalam kamar Clyde, aku berlari cepat menuju ranjangnya dan membanting tubuhku disana.

"Hei, itu tempat tidurku." Ucap Clyde gusar.

"Aku kan tamu, jadi kau harus memperlakukanku seperti raja. Lagi pula, bukannya kau yang mengajakku kesini?" Tangkisku.

"Iya-iya kau menang. Biar aku yang pakai kasur udara." Clyde menyerah.

Clyde mengambil gulungan kasur udara didalam lemarinya, lalu memompanya dengan pompa listrik. Setelah sekitar dua menit, kasur udara itu kini telah kokoh disamping ranjang. Clyde mengambil bantal dan selimut dari dalam lemari, lalu melemparnya diatas kasur udara itu. Clyde langsung membanting tubuhnya di kasur udara itu dan kulihat tubuhnya sedikit memantul disana.

"Clyde, kenapa kau mengajakku kesini?" Tanyaku saat dia santai dikasur.

"Tidak apa-apa. Karena kau sedang dirumahku, aku ajak saja kau kekamarku. Ya, agar aku tidak kesepian disini." Ucapnya.

"Ah, aku tidak percaya." Curigaku.

"Ah, sulit sekali ya berbohong darimu," Clyde tertawa. "Aku sebenarnya mau bicara sesuatu. Ada sebuah masalah yang sudah lama ingin kuberitahu pada seseorang, karena sudah sangat menghantui otakku jika tidak diceritakan. Sebuah rahasia yang aku ingin ceritakan kepada orang yang tepat, namun tidak ditempat umum, dan kurasa sekaranglah waktu yang tepat." Jelasnya sedikit berbisik.

Aku mengerutkan dahiku dan sedikit curiga. "Jangan bilang kau suka padaku juga." Aku menarik selimut menutupi tubuhku sampai keleher karena ketakutan.

"Tidak! Aku tidak seperti itu!" Clyde sedikit mengomel. Aku bernafas lega dan kulonggarkan gengaman tanganku dari selimut ini. "Sebelumnya aku ingin tanya padamu." Tambahnya.

"Apa?" tanyaku.

"Kau harus berjanji tidak memberitahu siapapun." Ucap Clyde dengan tatapan serius. Aku hanya mengganguk lalu Clyde melanjutkan omongannya. "Ok, apa menurutmu HOPE itu adalah impian yang sangat indah?" Tanyanya.

Aku sedikit binggung, lalu mengerutkan dahiku. "Mungkin, karena kebanyakan anak ingin menjadi HOPE. Banyak pula orang tua yang ingin anaknya menjadi HOPE, memang kenapa?"

"Aku tidak ingin menjadi HOPE." Ucap Clyde.

"Ya, aku juga tidak berambisi menjadi HOPE." Jawabku singkat.

OBLIVIOUS (Dunia Ratusan Tahun Dari Sekarang)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang