Indrani terus mengaduk ice chocolate miliknya walaupun coklat yang tadinya terendap sudah teraduk sempurna. Bagaimana tidak begitu? Pandangan mata Azio membuat Indrani hanya bisa mengalihkan perhatiannya ke tempat lain. Dia merasa bersalah, tentu saja. Dia merasa bingung, dan tidak tahu harus berkata apa.
Bahkan, untuk memulai perkataan saja dia tidak bisa.
Azio sendiri dari tadi selain memperhatikan Indrani, juga sibuk dengan handphonenya. Tidak memulai pembicaraan.
Lagu milik Fiersa Besari - Waktu yang Salah mengalun dari speaker kopi'o tempat Indrani dan Azio berada. Kenapa harus lagu ini? Pikir Indrani. Siapa nih yang request lagunya? jangan-jangan mas Azio request lagunya lewat handphonenya?
"Drani."
Mampus. "Ya?"
"Sudah ngaduk es-nya?"
Ealah, dari tadi tuh nungguin aku ngaduk coklat? "Udah mas, mas mau ngomong apa?"
"Aku minta maaf ya,"
Dahi Indrani mengerut bingung, "Kenapa Mas minta maaf?" Tanya Indrani. Ia bisa melihat Azio yang tersenyum. Manis seperti gula kapas, menandakan perkataan selanjutnya adalah perkataan yang tulus, bukan perkataan yang dibuat-buat.
"Karena bikin kamu bingung. Kamu akhir-akhir ini menghindar dari aku, dan aku sudah bisa menyimpulkan jawabanmu."
Indrani sudah jelas tidak mungkin mengelak lagi, "maaf." Jawabnya sambil menundukkan kepala. "Aku bukannya tidak mau, tapi--"
"Ada yang kamu suka, aku tahu."
Indrani menaikkan kepalanya. Ingin membuka mulutnya, membantah. Namun itu semua benar. Ada yang dia sukai. "Semua ini seperti kejatuhan durian runtuh." Jawab Indrani. "Terlalu tiba-tiba. Aku sampai kaget. Ini kebahagiaan, karena ada yang mau meminangku. Hanya saja aku tidak bisa."
"It's Ok." Jawab Azio. "Lagipula sebentar lagi aku akan pindah dari perumahan itu, jadi kamu bisa bernapas lega. Maksudku mungkin kita tidak bisa seperti biasanya, tapi aku harap kamu jangan menghindariku lagi."
Indrani merengut sejenak, sebelum menganggukkan kepalanya. "Maaf."
"Jangan minta maaf, anggap saja sekarang lebaran. Kita mulai lagi dari awal."
"Makasih mas."
"Sama-sama."
***
Selama di kampus, pekerjaan Sherina hanyalah menulis puisi-puisi kecil di catatan miliknya. Mengenai kehidupannya yang tiba-tiba berubah menjadi roller coaster.
"Lu kenapa Sherina?" Tanya teman sekelasnya. Yerin. Dia duduk tepat disebelah Sherina, yang seharusnya makan siang, tetapi lebih memilih duduk di pelataran perpustakaan. "Ngerjain thesis, lu?"
Sherina menutup notenya, lalu menggeleng. "Yer, aku nginep di tempatmu dong. Sampai lulus."
Yerin mengerutkan dahinya. Menatap Sherina bingung. "Lu pan punya rumah?"
"Udah di jual buat biaya nikah mas-ku. Sekarang aku nginep di rumah tetangga." jawab Sherina sambil berdiri. Yerin yang dari tadi berdiri, kemudian mengikuti sherina yang mulai berjalan meninggalkan pelataran perpustakaan.
"Kalau gitu, ngapain perlu pindah? Kan udah ada tempat tinggal?"
"Tahu mas Tama ngga? Anak kosan yang punya cafe? Yang kerja di fima hukum?" tanya Sherina seraya terus berjalan menjauhi perpustakaan.
"Oh, yang ganteng nyentrik itu ya? Yang sering nganterin kamu ke kampus, kalau ada acara di luar kampus?"
Sherina menganggukkan kepalanya. "Mau ngehindarin mas itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Perumahan Bahagia ✓
Fanfiction"Apaan perumahan bahagia? Aku bentar lagi sedih." - Adelia 20th