"Anjing lo!"
Bentakan itu kasar lagi beringas. Suaranya melengking hingga membuat seisi kelas mendadak mengheningkan cipta. Guru di depan sana bahkan terkesiap tanpa suara, menatap sang pelaku.
Sosoknya tak lain adalah Siska, perempuan liar dengan rambut panjang diikat tinggi. Gadis itu duduk di sampingku, menggebrak meja dengan keras seraya mengarahkan telunjuknya padaku.
"Jangan mentang-mentang lo cowok, terus bisa seenaknya aja ngewe! Padahal baru sebulan kalian pacaran, tapi lu udah berani menodai dia. Dasar sangean lo, bangsat!"
Ya elah, Si Lonte.
Padahal tadi dia sendiri yang maksa-maksa buat cerita. Padahal itu bukan urusan dia. Bodo amat kalau memang Cindy teman dekatnya, bukan berarti dia bisa begitu saja seenaknya membentakku.
Tak terima dihina, aku lantas menggeser kursi kayu seraya bangkit demi balas mencerca. Senyum kecil kutunjukkan sebagai salam pembuka. Berikutnya, mulut ini membuka lebar memaki dia sekuat tenaga.
"Eh jablay! Jangan kira karena babeh lo kepala sekolah di sini, lo bisa seenaknya kasar kayak gini!"
Ada semacam jeda sebelum dia bisa membalas balik. "Suka-suka gue, lah. Gue usir guru di sini sekarang juga bisa."
"Uhhmm..., Siska? Bisa tolong kecilin suaranya?" Pria setengah baya di depan kelas terlihat mengemis perhatian dengan cara yang sangat menyedihkan. Alih-alih menegur atau mungkin mengusir si pengacau seperti guru normal pada umumnya, pria berpeci itu malah terlihat gemetaran seraya memegangi spidol di tangan.
"Berisik, lo," balas Siska ketus, sukses membungkam perlawanan lanjut dari sang guru. Pandangannya kemudian teralihkan padaku. "Dan elu PeKa!," ucapnya semakin keras.
Ngomong-ngomong, PeKa itu singkatan dari 'Penjahat Kelamin'.
"Lo keseringan merawanin pacar-pacar elo, terus lo putusin mereka seenaknya. Dasar bajingan. Semoga suatu hari lo kena karma."
"Biarin lah, jing. Karma apaan sih yang bisa nimpa gue? Lagian lo ngebacot gak usah nyolot, biasa aja napa? Gak usah kenceng-kenceng. Emang pada dasarnya lo gak pernah pake otak, ya," hardikku melawan.
"Suka-suka gue," balasnya. Seperti biasa, ia melancarkan jurus terakhir itu dalam melakukan pembenaran.
Aku sebenarnya malu, tatapan mata semua orang tertuju pada kami berdua. Namun, Siska seperti tak menyadarinya sama sekali. Atau mungkin saja dia malah menikmati? Dasar jablay caper.
Yang jelas, aku tak suka dijadikan pusat perhatian seperti ini. Langkahku lantas terayun, melipir secepat kilat keluar dari ruang kelas. Dengan tanpa mengurangi hormat, kuucapkan permintaan izin untuk keluar kepada Pak Guru yang seperti sedang menahan tangis.
Mataku mendelik tajam pada si Lonte seraya berucap kasar dalam gerakan mulut tanpa suara.
"Anjing lo!" Kuacungkan jari tengah seraya melewati pintu. Dia membalasnya dengan wajah berang disertai tatapan tak sedap.
Kututup pintu ruangan dengan kasar, menciptakan suara gebrakan keras hingga seisi kelas terentak ketakutan.
Tadi itu ekstrem sekali. Untuk ukuran murid biasa, tentu sanksi DO atau dikeluarkan akan senantiasa membayangi.
Tapi aku tak ambil pusing. Berulang kali kami saling melontarkan cacian hingga perang kata-kata 'mutiara' berupa ragam jenis nama hewan. Pun begitu, sampai detik ini aku masih baik-baik saja. Tak ada teguran atau apapun yang dilayangkan dari pihak sekolah.
Semuanya tentu memiliki alasan. Pak Diki—ayah Siska adalah kepala sekolah di sini. Itu sebabnya guru BP dan pengajar yang lain cenderung tutup mata terhadap tingkah barbar si cewek tomboy satu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku (Bukan) Perempuan..!
Teen FictionFuckboy laknat kena karma dikutuk menjadi perempuan.